Segenggam Cinta 'tuk Berlian

Saepul Kamilah
Chapter #5

Hie Soran

“Bagaimana hari ini, Sayang?”

Aku tersenyum disambut istriku di depan pintu, lekas kukecup kening lalu lanjut merangkulnya ‘tuk kembali ke dalam rumah. “Melelahkan,” ujarku, “kau gak bakal percaya kalau—eh, ya!”

Gak lupa. Aku menoleh, berbalik, kemudian memanggil gadis yang mengikutiku agar ikut masuk.

“Soran! Kemari, Nak. Temui ibumu ….”

Biar kalian dan Berlian gak bingung sama kemunculan gadis itu yang spektakuler—maksudku dirinya muncul dari gelembung macam pintu teleportasi di langit terus melayang dengan jejak kerlap-kerlip hingga mendarat depan pintu rumahku. 

Buatku, sebagai tokoh utama yang jarang muncul dengan tambahan efek spesial ini, tadi sudah luar biasa.

Balik ke pokok bahasan. Biar kujelaskan kenapa gadis itu bisa tiba-tiba mengikutiku ….

“Tuan Hong memintaku ‘tuk memilihkan benda dengan kadar mana paling kental, ‘kan?” Sebelumnya, ketika berhasil menemukan hadiah untuk acara pelantikan Bate Kauro. “Dari tiga ini, bonsai sebelah kiri punya aura paling pekat daripada batu atau telur grifin sebelahnya.”

“Kurasa maksud Tuan Hong telur di tengah itu grifin, Tuan Mi. Kalau berhasil menetas, bukankah dia akan menjadi tunggangan termewah di benua?”

“Kalau pertimbangannya begitu, kenapa masih bingung?”

Aku dan Kolektor Lu kompak melirik Pembantu Hong.

“Hehe.” Namun, orang yang mengundangku bersama sang kolektor untuk agenda hari ini itu hanya terkekeh sambil garuk kepala. “Apa kita tidak bisa mengambil ketiganya saja?”

“Aku dan Tuan Mi paham buat pohon hias dengan telur satu ini, tapi batu itu?”

“Benda ini ….” 

Kala itu, tepat saat Pembantu Hong mengelus permukaan giok pahat hijau berbentuk kodok mangap sebelum mengambilnya dari nampan di tangan pelayan rumah lelang tersebut, diriku pun sontak merasakan aura dingin yang menggigit hingga ke tulang dari arah belakang.

Aura yang sangat kukenal. 

Hawa haus darah milik Soran. 

Yang, waktu kuperiksa, tenyata (ia) lagi menekan orang-orang—atau, mungkin begal—apes di hadapannya.

Tampaknya mereka salah sasaran dan mengira gadis ini sebagai anak hilang yang kebetulan melintas …. 

“Begitu,” pungkasku, selesai menceritakan pertemuanku sama Soran pada Berlian. “Kalau boleh, aku i—”

“Tentu saja boleh!” Istriku pindah duduk ke dekat si gadis lantas merangkulnya. “Putrimu juga adalah putriku, Sayang. Soran, tinggal sama mama di sini, ya?”

Soran melihatku.

“Pilihan di tanganmu,” kataku, mengembalikan putusan akhir padanya. “Aku takkan memaksa kalau kau mau pulang ke Istana Naga, Soran.”

“Apa kau akan ikut?”

Aku menggeleng.

“Apa karena wanita ini?” tanyanya lagi, menunjuk Berlian. “Dia gak sekuat Letta, juga bukan pemegang Hati Benua. Kenapa mau tinggal di sini?”

Lihat selengkapnya