Segenggam Cinta 'tuk Berlian

Saepul Kamilah
Chapter #8

Kebiasaan yang Susah Hilang

“Sayang.”

“Sudah selesai?” tanya istriku, lekas memapak sang suami yang baru tiba sehabis menjarah isi ruang harta Sekte Sabit Pedang. “Kau gak apa-apa, ‘kan, Sayang?”

“Yang harusnya kau khawatirkan itu aku, Lian …,” protes Miki, ia cepat-cepat menyambar gelas dan minum bebarapa teguk sebelum lanjut mengeluh. “Hah. Gak cuma pusaka, suamimu juga menangkap semua makhluk mistis di sana—gilaaa.”

Kuangkat tangan sebahu waktu mata penuh tanya Berlian melirik cepat ke arahku.

“Namanya juga menjarah ….”

Sebelumnya, di Sekte Sabit Pedang. 

“Benar ini sekte mereka, ‘kan?” tanyaku, merespons tatapan gelisah Miki yang gak kunjung mereda sejak kami masih di jamuan Pelantikan Bate Kauro. “Jangan cuma melihatku begitu. Sana, cepat taruh dupa di tanganmu ke depan patung singa dekat tiang gapura sebelah kiri itu ….”

Aku mengerti bila dirinya takut.

Toh, Sekte Sabit Pedang memang kelihatan cukup megah dan terkesan berpengaruh. 

Mulai dari penampakan gapura mewah, tangga marmer hingga ke puncak bukit, ditambah endapan essen atau sumber mana nan melimpah. Dengan kondisi sekaya ini, pantas murid-murid mereka pada besar kepala.

“Aku takut, Paman Mi.”

“Tenang saja,” kataku, menarik pinggang anak itu terus melompat dan mendarat pas di depan aula utama sekte tersebut. “Nah. Sampai ju—”

“Siapa yang cari mati berani menerobos sekteku?!”

Seberkas suara, lantang dan menggelegar, menyambutku seketika. 

Datang dari arah puncak bukit di belakang Aula Sekte Sabit Pedang, si empunya suara kemudian melepas aura nan menekan area sekitar hingga semua yang berada di radius satu mil darinya dipaksa berlutut sampai ambruk oleh tekanan khas milik pertapa cincin lapis lima.

Benar-benar wah, kecuali bagi diriku sama bocah yang kuselimuti pakai mantel di sebelah—tentu saja.

“Jangan keluar dari jubah ini—” Begitu kataku pada Miki, satu detik sebelum melesat ke si pemilik aura untuk menyambar leher lalu membantingnya. “Hallo.”

“Apa—akh?!”

Usai gebrakan pertamanya gagal. Ia, pria tua dengan jenggot putih lebat nan menjuntai hingga melewati dada itu, kini ambruk dan berusaha berdiri setelah menghantam ubin di depan aula sektenya sendiri.

“Aku yang barusan kau sebut cari mati berani menerobos kemari …,” kataku, cekak pinggang menungguinya selesai berdiri. “Sekarang dirimu mau apa, Pak Tua?”

Dia, sang pria tua, selanjutnya malah pasang muka senyum dan mendekatiku dengan langkah ringan. 

“Ahaha, Tetua … Tetua, kau salah paham. Aku tidak tahu jika tadi itu dirimu,” ucapnya, tepat sebelum ia menyelinap ke belakangku dan menikamkan sebilah belati. “Bo—hah?!”

Lihat selengkapnya