“Paman Mi!”
“Kenapa mukamu asem begitu?”
“Kura-kura itu mengabaikanku,” aku Miki, mengadukan hewan-hewan ajaib yang kuminta ia jagakan sambil menungguku di kedai depan Kantor Muri Distrik Timur Laut. “Dia sama si naga putih terus menghindariku dan gak pernah mau kupangku, cih!”
“Mereka baik-baik saja, tuh,” balasku saat memangku kura-kura dan naga putih yang ia adukan, “kalian cuma belum akrab kali, Miki.”
Hari ini, tanggal 13 Bulan Enam, hari ketiga setelah upacara pelantikan bate baru selesai kemarin lusa.
Kauro tiba-tiba menerapkan darurat perang. Bate memanggil satu laki-laki dewasa dari tiap keluarga di seluruh penjuru ‘tuk mengikuti wajib militer serta melakukan bela negara, tanpa ba-bi-bu dan hanya mengandalkan bewara berisi tenggat waktu pada selembar kertas bercap resmi.
Katanya, jika seorang lelaki dari satu keluarga tidak melaporkan kesediaan diri sampai tanggal lima belas nanti padahal di keluarga tersebut terbukti tak ada kendala berarti maka mereka akan ditetapkan sebagai pengkhianat negara serta langsung dijatuhi hukuman mati.
“Kejam, bukan?”
“Apanya yang kejam, Paman?”
“Panggilan Bate,” jelasku, melirik Miki sekilas terus lanjut bermain bersama kura-kura dan naga putih sambil menunggui si bocah selesai makan. “Di rumahku cuma ada satu laki-laki, tapi aku tetap harus pergi berperang melawan Serindi. Bukankah itu kejam?”
“Jauh lebih kejam dirimu.”
“Eh?!” Sontak kepalaku menoleh. “Aku kejam bagaimana?”
“Kau jenis alkemis yang bisa memoles pusaka dan sanggup menjarah sekte besar sendirian, tapi dirimu malah tinggal di pinggiran kota terus gak peduli sama perkembangan dunia—”
“Hahaha!” Aku terbahak dengar omongannya.
Dia benar, sikapku yang acuh pada sekitar memang lebih kejam ketimbang seruan nasionalisme Bate. Apalagi diriku termasuk jenis oportunis serta manipulatif, kadang sangat pragmatis juga serakah.
Namun, aku masih tahu aturan. “Kalau kau bilang begitu, Bocah, kita berdua ini sama.”
“Kenapa?”
“Kau itu murid pertapa, tapi bukannya fokus semedi dirimu malah berkeliaran di sekitar rumahku terus diam-diam mengintip putriku tiap kali ada kesempatan, ‘kan?”
“Ehehe.” Miki pasang muka polos. “Paman, pas kau pergi nanti aku akan menjaga rumahmu, tenang saja.”
“Palamu ….”
***
“Paman, sebenarnya kita mau ke mana?”
Miki kelihatan cemas, sejak keluar dari kota dan sampai ke kaki Gunung Empat Naga ia berkali-kali celingak-celinguk di punggung kuda. Seakan takut pada sesuatu.