“Hei kau!”
Aku celingak-celinguk, memastikan bila tidak ada orang lain di sekitar, kemudian menunjuk muka sendiri.
“Iya, kau yang lagi duduk dengan kapak perang di sana!” panggil si orang di kejauhan, mempertegas bahwa ia memang betul-betul merujukku. “Kemari sebentar ….”
Musim Semi 221 Shirena.
Perang melawan Serindi pada akhirnya tidak bisa dihindari. Dua puluh ribu pria Kauro berkumpul menjawab seruan bate mereka lantas berbaris di perbatasan dalam naungan dua bendera ungu bertuliskan Guon dan Sung.
Mereka, dua puluh ribu pria berzirah seadanya ini, lalu mendirikan kemah sepanjang padang rumput di antara tiga gunung penanda wilayah dua negara. Saling berhadap-hadapan dengan kemah penantangnya ….
“Kau memanggilku?”
“Ya. Kau dari unit mana?”
“Aku. Unit Caupa Wen, Kompi Pasukan Pelopor Pertama, Peleton Empat Regu Dua.”
“Di mana upamu?”
Aku menggeleng ditanya olehnya, tidak tahu di mana upa reguku pas jam makan siang tersebut.
“Ini.” Ia selanjutnya mengasongkan sebuah gulungan. “Perintah dari Yoram Gazi untuk semua caupa, berikan ke caupa unitmu ….”
Gak banyak cakap, orang tadi pun pergi selesai menitipkan benda di tanganku.
“Aneh,” gumamku saat dirinya berlalu dan sebelum mendadak tersadar akan sesuatu yang tidak beres, “kenapa gak dia kasih langsung ke—tunggu dulu!”
Caupa atau kepala kompi ada di sekitaran kemah komando sepanjang hari, buat apa yoram alias kepala batalion mengirim perintah berupa gulungan lewat prajurit?
“Aneh!” kataku yang lekas memanggil Mera, kuda merah hasil menjarah Sabit Pedang tahun lalu, kemudian menyusul orang tadi. Huiiit!
***
Tiga bulan sebelumnya.
“Jaga diri baik-baik ….” Ketika Berlian dan Soran melepasku sebelum berangkat ke kancah perang. “Kalau menyerah ternyata bisa menyelamatkan nyawa, jangan memaksa bertarung—”
“Kau tahu suamimu luar dalam, ‘kan, Sayang …?” selaku, mengusap pipi istriku lantas mengecup keningnya sebelum lanjut pamitan. “Sudah, jangan cemas. Jikapun kalah perang, yang penting jangan sampai mati.”
“Bagus. Aku dan Soran menunggu kepulanganmu, ingat itu!”
Aku tersenyum terus melihat Soran sebelahnya.
“Kau gak mau bilang apa-apa pada ayahmu ini, Sa—”