“Seraaang!”
Tanggal 11 Bulan Pertama 221 Shirena.
Pertempuran di Lembah Tiga Gunung kini memasuki hari ketiga. Seperempat kekuatan tempur Kauro telah tumbang bersama seperlima dari lawan-lawan mereka, dan meski kala itu sudah tampak perbedaan antara kami komandan-komandan pasukanku menolak menggunakan cara di luar kebiasaan.
Mereka tetap mau memapak serangan langsung dengan berhadap-hadapan ….
“Hah.” Aku, yang kebagian menghalau ujung sayap kanan musuh dari tepi paling kiri barisan Kompi Pelopor Caupa Wen, seharian ini paling cuma bakal melihati milisi lain menarikan maut di tengah jerit sumbang lagi—macam kemarin. “Hoaaam …!”
“Kau kelihatan bosan, Tuan Mi.”
“Ah, Tuan Zeng.” Aku menoleh ke orang di sebelah, kemudian senyum merespons tegurannya. “Benar. Aku bosan, tempo perang di sini terlalu lambat.”
“Hah?”
“Kita ada di lembah seluas seperlima mare,” kataku yang lalu menjelaskan kenapa berpikir demikian, “di area lapang seluas empat kilometer persegi dengan tiga gunung mengelilinginya itu harusnya banyak kemungkinan yang bisa dilakukan, bukan?”
“Contohnya?” sambar orang di sebelah kiriku, tiba-tiba nimbrung.
Aku berbalik. “Kita bisa menyusupkan unit kecil memutari Gunung Wuli di sana untuk menyergap markas komando musuh dari belakang Gunung Da.”
Buat informasi, lokasi pertempuran Kauro dan Serindi berlangsung ada di sebuah lembah yang diapit oleh tiga gunung. Wuli di barat laut, Da sebelah timur, sama Nisi arah tenggara.
Kami, orang-orang Kauro, datang dari timur laut lembah sementa musuh masuk melalui barat daya.
Memikirkan bentang alam model begini. Ketimbang melakukan pertempuran terbuka bak sekarang, jujur aku lebih senang menggunakan tiga gunung tadi untuk mengatur jebakan atau menyergap musuh lewat serangan fajar. Atau, bila mau langkah cepat, kirim pembunuh sembari melakukan taktik tarik-ulur.
“Kau bicara macam ahli strategi, Tuan Mi.”
Tentu saja! Begini-begini diriku bekas Bura Kelima Panji Beruang dari Bravaria. Mengatur siasat perang sudah kudapan harianku, tahu. Huh! Sekarang saja aku cuma milisi pejalan kaki ….
“Apa salahnya memikirkan rencana?” timpalku lantas menunjuk musuh di seberang, “kita dan mereka sama-sama gak suka pertempuran jangka panjang ….”
***
“Unit Tupa Lian Ning!” pekik Caupa Wen, melintas ke muka barisanku. “Bergerak ke tenggara, bersiap ‘tuk menyergap musuh di Gunung Nisi!”
“Unit Tupa Lian Ning?” gumam orang sebelahku sebelum ia tiba-tiba teriak, “itu kita—”
“Benar!” sahut prajurit lain, “Upa, kita harus ke tenggara.”