“Soran!”
Kutunjuk sungai selebar satu mare di hadapan kami.
“Pergi!” Lekas meminta putriku dan Berlian itu agar menyeberang duluan pakai bahasa Kara. “Halau monster-monster di sana supaya kita bisa menyebarang. Bilang sama mereka jika aku, Ure el Arathena, akan menerima suku-suku mereka menjadi pasukan baruku!”
“Boleh kubunuh?”
“Kalau mereka gak mau menyerah,” kataku lalu memberikan vas wadah abu Sandra, “dan ini, biar ratu gurun di dalam benda ini yang jadi tanda kau suruhanku.”
“Mengerti ….”
Pertengahan Musim Semi 221 Shirena.
Usai berjalan kaki selama satu bulan melintasi wilayah negara-negara di kekaisaran tetangga, empat ribu sekian ratus penyintas tragedi berdarah Kauro kini telah sampai ke muka Kubang Naga.
Sungai terpanjang dan paling lebar di bagian timur benua.
“Barusan kalian bicara apa?” tanya istriku, mendekat setelah Soran melesat ke seberang. “Gadis itu kelihatan ceria sekali. Kau gak—”
“Aku cuma memintanya mencarikan kita daerah buat berlabuh.”
“Berlabuh?”
“Ya!” timpalku, mengangguk semringah menanggapi muka penasaran Berlian.
Selanjutnya, kubuka tutup tungku di punggung kura-kuraku terus memanggil kelabang ajaib penunggunya agar keluar. “Hoi!”
Mengerti maksud panggilan tersebut. Ia, si kelabang, kemudian loncat dari tungku lantas memperbesar diri di udara hingga ruas-ruas tubuhnya pas mendarat kini cukup lebar untuk menampung empat sampai lima orang berdempetan.
“Bagus.” Aku senang makhluk itu gak harus kuperintah dua kali. “Semuaaa ….”
Penghujung Bulan Dua.
Terdesak oleh keadaan serta tidak punya pilihan setelah ditolak waktu memohon bantuan pada negara-negara tetangga pascatragedi di bagian sebelumnya, para penyintas Kauro nekat membuka lahan di seberang Kubang Naga dan mendirikan kemah perlindungan sementara demi menyambung hidup.
Mereka, empat ribu sekian ratus pengungsi nan tanpa harapan ini, bahu-membahu hendak mendirikan ulang komunitas di tanah ‘asing’ tersebut.
Akan tetapi, meski semula hanya penampungan darurat sementara pinggir sungai.
Siapa sangka bila tempat yang mereka bangun itu akan menjelma sedekimian rupa hingga menjadi pemukiman sungguhan dalam kurun setengah tahun ….
***
“Hem.”
“Kenapa alismu mengernyit begitu, Paman Mi?”
“Berapa orang yang ikut kita mengungsi musim semi kemarin?” tanyaku, membalas mata heran Miki dengan tanda tanya besar. “Terus berapa juga yang katanya sudah menyeberang kembali atau mati?”
“Hampir lima ribu kurang sedikit,” ujar anak itu, melirik curiga padaku sambil angkat tangan siap menghitung pakai jari. “Kalau yang kembali lagi ada-lah setengahnya, mereka murid-murid sekte bela diri.”
“Sisanya?”
“Yang mati?”