Segenggam Cinta 'tuk Berlian

Saepul Kamilah
Chapter #15

Bukit Muara

“Ini tempatnya, Tetua?”

“Benar.” Pak tua yang mengantarku ke depan gapura di kaki sebuah gunung cekak pinggang, kelihatan amat bangga. “Setelah naik tangga ini, Anda akan sampai di Sekte Bukit Awan.”

Musim Panas 223 Shirena.

Usai memoles kapak perangku hingga ia kini dijuluki Kelabang Merah selama satu setengah musim tanpa jeda, aku akhirnya keluar dari Pagoda Kubang Naga buat memenuhi ‘undangan’ mertua.

Mendaftar ke sebuah sekte sebelum datang padanya dan menjemput Berlian ….

“Terima kasih, Tetua.” 

Setelah memberi pak tua tadi sekeping emas buat imbalan mengantar, langkahku berlanjut. 

Mendaftar ke Bukit Awan, belajar mantra pertapa zaman ini sampai punya nama baik, lalu pergi ke Mentari Gelap dan terakhir menyapa mertua.

Hem. Sepertinya mudah.

*** 

“Hallo.”

Petugas di depan gapura Aula Buku Bambu, tempat pelamar mendaftarkan diri ke Bukit Awan, melirikku dari atas sampai bawah. Bukannya membalas sapaan barusan, mata si petugas malah lincah menyisir lekuk-lekuk tubuhku bak mencari sesuatu hingga aku bergidik dan mendadak mual.

“Petugas, aku datang dari desa di tepi Kubang Naga ….” 

Kuambil sekeping perak lalu kutaruh di mejanya. 

“Jika Anda mencari barang berharga di tubuhku, tolong berhenti.”

Ya. Lupakan Saja.

Kecuali kantung uang semua barang kusimpan di Kantong Hati Naga, dan benda ‘rajutan’ shaman empat suku itu takkan bisa dilihat penduduk Eldhera selain oleh para pemegang mata perak.

Jadi tolong berhenti menatapiku!

“Mau mendaftarkan putramukah?” tanya si petugas, bersuara usai puas ‘menyelisik’ sekitar pinggangku tanpa hasil. “Silakan tulis nama—”

“Bukan.” 

Kuambil kuas dan buku yang ia asongkan. 

“Aku bukan mau mendaftarkan putraku, Tetua.”

“Eh?!” Dirinya kini melihatku, lagi. “Terus nama siapa yang kau tulis di sini?”

“Namaku.”

“Hah—hahaha ….”

Orang itu langsung terbahak. Begitu saja, tanpa ancang-ancang dan tanpa penjelasan.

Teramat tiba-tiba sampai diriku bingung sendiri. 

Menyebalkan, memang.

“Kau sedang bergurau, ‘kan?”

“Ke-kenapa?”

“Sekte Bukit Awan cuma menerima anak-anak atau paling telat yang baru mengikuti upacara kedewasaan setahun sebelum mendaftar,” jelasnya sebelum kemudian mencelupkan kuas, hendak menimpa namaku. “Kau terlalu tua untuk ber—”

“Tunggu!” 

Cepat-cepat kutahan tangannya. 

Lihat selengkapnya