“Aku pulaaang ….”
Mukaku semringah.
Penampilan Gerbang Bukit Muara baru benar-benar menyilaukan, aku sampai sukar percaya kalau ini betulan sekteku bila tidak melihat terus baca papan nama di atas pintu sana.
Hem. Meski baru gerbang sama pagar depan, tukang yang kupanggil buat merenovasi padepokan hidup sesuai reputasi mereka. Gak rugi keluar seribu perak kemarin ….
“Kepala Mandor, aku suka gerbang baruku!” teriakku, mengacungkan jempol ke para pekerja yang lagi rehat di halaman kuil. “Dia kelihatan megah. Kalian benar-benar nomor satu se-Kota Xuen.”
“Ahaha.” Sang mandor kepala cepat-cepat menghadap buat menyambutku. “Jangan terlalu menyanjung, Bos. Kita baru sepertiga jalan, kami masih harus mengganti pagar samping dengan gerbang belakang sebelum lanjut merombak bangunan-bangunan utama.”
“Hem. Aku suka profesionalitasmu …,” akuku kemudian menarik camilan yang memang kubeli buat mereka pas ke kota pakai Benang Pandora terus kutaruh di depannya, “ngomong-ngomong, selain guru sama saudara seperguruanku gak ada orang lain lagi di sini, ‘kan?”
“Ma-maksud Anda, Bos?”
“Maksudku pas kalian mengganti gerbang, apa gak ada yang datang kemari?” bisikku sambil sesekali mengintip ke kuil, “seminggu ini aku dapat surat aneh di depan pintu ….”
“Ah, itu ….” Ia berpikir sebentar. “Tidak ada, Bos, tapi salah seorang pekerja melihat banyangan melintas saat menimba air di halaman belakang sama ….”
Hem. Aku melipat tangan dengar aduan sang mandor kepala.
“Aku mengerti,” kataku yang lalu memberinya dua keping perak dan berpesan, “tolong simpan semua yang kalian lihat atau dengar di sini dan jangan katakan soal kejadian tadi pada orang lain, paham?”
“Oh. Anda tenang saja, Bos. Mulutku tertutup rapat.”
“Bagus. Ah, ya! Kami masih kekurangan bangunan, tapi kau dan orang-orangmu boleh pakai gudang belakang buat menginap, terus bawa camilan ini buat kudapan kalian.”
“Te-terima kasih, Bos, terima kasih.”
Seminggu telah berlalu sejak diriku kembali dari Pertemuan Dunia Kecil, tetapi penguntit yang mengikutiku dari Gerbang Burung Api belum juga mau pergi. Apa yang sebenarnya mereka cari di padepokan ini?
Maksudku jika yang diincar itu diriku, seharusnya tadi mereka juga akan ikut turun gunung, bukan?
Namun, ini tidak. Itu artinya sasaran sebenarnya bukanlah diriku melainkan sesuatu atau seseorang di sini ….
“Ketua.”
“Kau sudah kembali?”
“Hehe … Ketua, tolong coba seragam baru kita.”
Pak tua di depanku berbalik.
“Kenapa ada—”
“Oh, ini untuk cadangan!” selaku lantas menjelaskan, “terus aku juga pesan dua model buat situasi berbeda, satu bakal kegiatan sehari-hari kita sama satu lagi pas ada acara di luar sekte.”
“Kenapa dua jubah di sana berbeda, Mi?”
Aku melirik jubahku dengan untuk Saudara Seperguruan Qin.