“Terima kasih. Silakan datang lagi ….”
Makan, sudah. Alamat kartografer, sudah. Selanjutnya ….
“Ayo sapa Pu Ding sebelum menghadiri Acara Belukar Semak, Senior.”
“Junior, aku ma—”
“Gak boleh!” selaku yang lantas mengangkat tubuh dan mendudukkan Saudara Seperguruan Qin di punggung kudanya terus lompat ke punggung si Mera, “kau sudah sepakat buat ikut semua aturanku sebelum kita datang kemari, ‘kan, Senior?”
“Tapi …, Junior Mi, kenapa kita harus datang ke Istana segala?”
“Cukup omong kosongnya, Senior.” Kusenyumi bocah sebelahku. “Aku baru sadar jika Bukit Muara butuh lebih dari sekadar ‘modal besar’ sebelum mulai melakukan debut di Pagar Tengah, kau tahu. Jadi lihat baik-baik bagaimana caraku mengaturkan semua itu untuk kita ….”
Benar. Dua bulan keliling banyak tempat dan memeriksa ombak sehabis melempar pancing. Menurut kalian kenapa aku ingin ‘menyalami’ Pu atau Raja Wilayah Ding?
***
“Junior Mi.”
Aku menoleh.
“Katamu kita mau mengunjungi Istana, ‘kan?”
“Benar. Lalu?”
“Apa sebuah bengkel kelihatan macam istana bagimu?”
Aku tersenyum dengar pertanyaan bocah sebelahku.
Langkah kami memang janggal jika mengacu pada rencana semula, menyalami Pu Ding kemudian menghadiri acara Belukar Semak buat menantang formasi mutiara inti mereka.
Lantas, apa tujuanku mampir ke bengkel satu ini. Begitu pertanyaannya, ‘kan?
“Jawabannya sederhana …,” kataku lalu menggedor pintu bengkel tersebut, brak-brak-brak! “Permisi. Apa Kepala Bengkel ada di tempat?”
“Aku kepala bengkel di sini. Siapa yang mencariku?!”
“Bagus.” Kusambut kurcaci yang baru muncul itu dengan senyum lebar. “Aku mau membeli bengkel ini ….”
Kalian boleh menyebutku gila karena tetiba mau beli bengkel tanpa sebab, tiada angin ataupun hujan.
Namun, tolong jangan lupa bila selain menyuling lumpur obat keahlianku juga adalah menempa.
Kuakui. Bila kalian orangnya menimbang untung rugi alias perhitungan, tindakanku sekarang hanyalah bakar uang. Apalagi kami tidak berencana ‘tuk membuka bisnis atau menetap lama di Tianwu, ‘kan?
“Bagaimana?” tanyaku, selesai menyebutkan harga dan meminta sang kepala bengkel mungil untuk membuka penawaran. “Selain membeli lahan baru, kau juga bisa membangun bengkel yang lebih besar dengan seribu lima ratus koin perak dariku, bukan?”
“Hem. A—”
“Ah, ya!” Jangan menyela dulu, diriku belum selesai. “Aku tahu sejarah lebih bernilai ketimbang uang bagi para dwarf,” ujarku lantas menambah harga, “jadi, tanpa mengurangi rasa hormat atau bermaksud buruk dan apabila dirimu berkenan, keinginanku adalah menjadi sponsor regu tempa—”
“Omong kosong!” bentak si kurcaci, berdiri terus cekak pinggang menanggapi tawaran keduaku. “Menjadi sponsor, kaupikir aku semiskin itu sampai butuh dikasihani, hah?!”