“Sudah beres?”
“Tuh!” Kutaruh undangan yang baru kuambil dari Kantor Muri ke depan Saudara Seperguruan Qin. “Besok kita ke Istana sama benda ini.”
Aku kemudian duduk.
Sekilas kulihati suasana kedai tempat saudara seperguruanku itu menunggu. Dan seperti biasa, lantai pertama kalah ramai dibanding lantai dua di atas sana. Entah karena ada di bawah terus berhadapan langsung sama pintu jadi kesan yang muncul tidak esklusif atau hanya pikiranku, aku tidak tahu.
Namun, kedai-kedai yang pernah kumasuki kebanyakan memang punya pemandangan serupa.
Tidak semua, tapi hampir setiap warung makan di Benua Timur begitu—bahkan aku dengan Tong Tian dulu pernah diusir lalu dapat makan gratis gegara ada yang mau pesan selantai penuh.
Hebat, bukan? Pesona lantai dua ….
“Ngomong-ngomong, Junior Mi.” Bocah plontos sebelahku mendekat. “Sekarang aku kepikiran,” akunya sebelum celingak-celinguk hingga melipat tangan dan menatap serius, “jika tiga pedang di pinggangmu semua senjata sihir kelas epik, apa pisau kemarin …?”
“Ya,” jawabku lantas pasang muka senyum, singkat. “Dia juga senjata sihir, tapi cuma kelas langka sama sekali pakai—a!” Kutahan mulutnya pas mangap pakai telapak tangan. “Gak usah kau bilang, aku tahu isi kepalamu.”
Begitu kataku kemudian menjelaskan.
“Benda itu akan bercahaya pas ada di dekat sumber batu mana, makin banyak makin terang, terus dia kutanami Sihir Kubah Angin. Puas?”
Saudara Seperguruan Qin mengangguk. Mengiyakan. Akan tetapi, wajah yang kala itu masih kelihatan sangat dan teramat serius memperhatikanku seolah bilang sebaliknya—tatapannya malah bak lagi minta tambah sama teriak: kurang, aku gak puas!
“Cuma ….” Jadi, kuminta ia agar mendekat. “Pisau ini bakal meledak pas menemukan tambang kedua.”
“Kenapa harus setelah menemukan tambang kedua?” tanyanya, agak berbisik.
Kubalas, “Karena aku maunya di tambang kedua.”
“Oh.” Dengar jawaban tersebut saudara seperguruanku selanjutnya merapikan duduk, pura-pura tak ada apa-apa, terus ganti topik pada hal lain. “Aku sudah hafal jurus Pedang Putih. Persiapan kita juga sudah selesai.”
“Bagus. Setelah makan kita lanjut belanja baju buat besok ….”
Tanggal 27 Bulan Sembilan.
Agendaku dan Saudara Seperguruan Qin hari ini adalah berbelanja.
Jadi selepas dari Kantor Muri, kami pun menyisir kawasan belanja di Distrik Selatan guna menemukan pakaian ‘tuk acara besok, memesan kereta baru, sama turut hadir pada gladi resik di alun-alun hingga depan Kediaman Pu atau Gerbang Istana Raja Kota.
Sehabis itu barulah aku dan dirinya pulang terus istirahat biar besok bisa bangun pagi sama gak kesiangan ….
***
“Jangan mengejekku!”
Begitu sergah saudara seperguruanku pas keluar dari kamar ganti dengan pipi merah.
Padahal, ketika itu diriku sama sekali belum bilang apa-apa dan sedang mencoba memperhatikan penampilan barunya dari atas sampai bawah saksama.
Tanpa suara serta tak punya niat buat berkomentar juga.
“Hem.”
“Baju ini keketatan di badanku,” tuturnya, memutar badan lalu berjalan ke depan cermin. “Lihat—”