Segenggam Cinta 'tuk Berlian

Saepul Kamilah
Chapter #28

Kediaman Pu Ding

“Kita sampai.”

“Junior ….” 

Saudara Seperguruan Qin menyikut lenganku. 

“Ini betulan panggung kemarin?”

Betulan panggung kemarin? 

Pertanyaan macam apa barusan itu. Jika ini bukan panggung yang kami datangi pas acara gladi kemarin, terus sekarang aku dan dirinya lagi ada di mana. Ada-ada saja.

Tanggal 28 Bulan Sembilan 223 Shirena. Alun-alun Tianwu memang kelihatan lebih ramai daripada kemarin sama jauh dari kata biasa hari ini, tapi kalau panglingnya sampai tidak mengenali itu keterlaluan. 

“Sudah jangan celingak-celinguk,” ujarku yang lalu menggandeng lengan Saudara Seperguruanku Qin, “ayo cari tempat kita dulu. Tuan Zi, tolong bimbing kami ….”

Orang dari Kantor Muri selanjutnya memimpin jalan.

Kami berjalan melewati gapura lalu berbelok mengitari panggung besar tadi menuju halaman depan Kediaman Pu dan naik tangga dua kali, melewati banyak meja kemudian berhenti di sebuah area khusus dekat panggung lain yang dipersiapkan untuk tamu-tamu negara dengan para undangan.

Secara teknis kami kini sudah keluar dari wilayah alun-alun kota ….

“Junior, kenapa kau gak kelihatan gugup di keramaian begini?”

“Kata siapa. Kau gak lihat lututku gemetar ini. Aku juga tiba-tiba lemas.”

“Hem. Berhenti menggodaku—”

“Di sana!” 

Pekik tiba-tiba orang sebelahku benar-benar bikin pekak. 

Meski sekitar kami riuh orang lalu lalang terus berisik sama lagu-lagu dengan alat musik, memegang bahu saja harusnya cukup. Gak perlu teriak heboh sambil menunjuk meja tempat atasannya duduk segala, bukan?

“Tuan Mi, Tuan Qin.”

Sudahlah. Gak guna kesal juga. 

Kusenyumi ia dan atasannya sebentar lekas duduk bersama rombongan dari Distrik Selatan. 

Agendaku sekarang adalah menonton acara sambil makan sepuasnya, jadi suasana hatiku gak boleh rusak.

*** 

Pagi tadi.

“Tuan Qin, kudengar Anda Murid Utama Sekte Bukit Muara, ya?”

Ketika Zi Yang, pegawai Kantor Muri yang menjemput kami, menemukan ketertarikan dan mewawancarai saudara seperguruanku di perjalanan menuju alun-alun.

“Dulu saudara angkatku ingin berguru di sekte Anda … ah, ya! Kabarnya, sebelum datang ke Tianwu Anda menantang dan sudah mengalahkan banyak kepala padepokan di perjalanan, apa benar?”

Namun, bak para pengamal ajaran kebaikan kebanyakan, Senior Qin saat itu hanya menanggapi pertanyaan-pertanyaan dari ‘penggemar’ di hadapannya dengan senyum. Ia tak tepuk dada meski yang dirumorkan benar, terus sekadar meluruskan bila ada cerita kurang tepat atau pujian tentang dirinya dirasa berlebihan.

“Gak tahu harus kusebut kau ini apa, Senior.”

“Maaf?” Saudara seperguranku dan penggemarnya kompak menoleh. “Anda bilang sesuatu, Tuan Mi?”

“Ya. Kubilang aku enggak tahu harus menyebut pemuda yang kau ajak bicara di sana apa, Tuan Zi,” ulangku yang lalu berhenti bersandar ke jendela dan membetulkan duduk, “dirimu terus memuji dirinya lalu berkali-kali menyinggung soal niat saudara angkatmu, ‘kan …, tapi dia malah terus bilang sekte kami cuma perguruan kecil sama gak pantas dapat perhatian pejabat.”

“Junior Mi—”

Lihat selengkapnya