“Kau sudah kembali, Junio—eh, siapa ini?”
Aku tersenyum menanggapi saudara seperguruanku sebelum mengajak Berlian duduk semeja bersama orang-orang Distrik Selatan. Berbaur dengan rombongan tatkala acara sudah separuh jalan.
“Istriku.”
“Hah?!” Mata dan kepala semua orang spontan tertarik ke arah kami. “Istri?”
“A-Anda barusan bilang …, istri?”
“Benar, Tuan Zi. Biar kuperkenalkan ….” Aku menoleh dan tersenyum, meraih tangan Berlian, kemudian menarik dirinya mendekat. “Ini istriku, Nyonya Mi, Hie Lian.”
“Ah. Nyonya Mi. Salam.”
“Salam, Nyonya.”
“Sa—”
“Tunggu!” Ketika orang-orang sekitar tersenyum menyambut kehadiran Nyonya Mi, saudara seperguruanku kala itu malah melihat kami teheran-heran serta sempat mematung sendiri. “K-kalau dia, kalau dia istrimu … ka-kalian, k-ka-kau juniorku, b-be-berarti—”
“Adik iparmu, lah, Senior.” Aku juga heran, kenapa bocah di meja sebelah mejaku ini harus gemetar bak baru saja melihat hantu begitu. “Siapa lagi memangnya kalau bukan adik ipar, hah?”
“Ma-maksudku. Maksudku ….”
Kudekatkan kuping kiriku padanya.
Siap mendengarkan komentar dari bibir tipis si bocah yang tak berhenti bergetar.
Namun, sedetik, dua detik, lima detik pun berlalu dan tidak ada suara yang kudengar. Benar-benar sepi sampai kutarik kembali diriku lantas gerutu ….
“Senior, tolong jangan membuat gerakan seolah mau bicara sesuatu padahal kau gak mau bilang apa-apa ….”
***
Beberapa saat lalu.
“Bukit Muara?”
Ketika aku berhasil mendapatkan kembali istriku.
“Bukit Muara yang menantang banyak perguruan belum lama ini? Bukit Muara yang itu? Benarkah?”
Suara ayah mertuaku terdengar kaget.
Dia pasti tidak menyangkanya, bukan?
Atau begitulah pikirku sampai ….
“Murid sekte kemarin soreee!”
Beliau memekik kuat lantas menghunjam dadaku dengan pukulan berat nan pekat tenaga dalam tatkala diriku berbalik dan hendak menyambut dirinya sebagai menantu yang baik.
“Apa kau sedang menghinaku, hah—apa?!”
Jerit disusul belalakan kaget waktu jurusnya gagal menembus kulit bajaku benar-benar gak bisa kulupakan ….
“Kenapa kau senyam-senyum sendiri?”
“Eh?!” Aku menoleh, tersenyum, kemudian merangkul istriku mendekat. “Aku masih kebayang muka ayah kita, Sayang. Beliau pasti tidak menyangka kalau menantu—”
“Tidak?” Berlian menatapku. “Kenapa kau tiba-tiba jadi sopan, Sayang?”
Sekali lagi, aku tersenyum merespons senyumannya.
“Kita masih di lingkungan istana,” ucapku agak pelan, “mana berani suamimu ini bersikap tidak sopan.”