“Kau yakin gak salah mengenali orang?”
“Aku sangat yakin, Tetua Mi.”
Bae Mon Dok, Tetua Sekte Belukar Semak, orang yang entah karena salah ambil obat atau gegara apa tetiba mengaku mengenaliku sebagai salah seorang dari sekian pertapa cincin lapis lima atau ranah transformasi tubuh yang berhasil kembali setelah penjelajahan gagal di Tanah Tenggara setengah dekade silam.
“Walau ranah transformasi tubuh yang berhasil selamat dari saat itu benar-benar sangat sedikit, balok marjan di cepolmu membuktikan kau salah seorang dari kami.”
“Hah ….” Kuhela napasku, pasrah meladeni pria dengan kipas lusuh sebelahku tersebut. “Tetua Bae, jika kau benar orang yang berhasil keluar dari reruntuhan apalah itu. Kenapa ranahmu cuma cincin lapis tiga.”
“Apa?”
“Maksudku, kenapa kau sekarang ini ada di formasi mutiara inti?”
“Oh.” Mulut pria itu membulat. “Kau pasti heran, aku sudah dapat kemajuan sepesat ini padahal dirimu baru kembali ke pengokohan fondasi, ‘kan?”
Sialan, muka bangganya menyebalkan.
“Tetua Mi. Belukar Semak punya pengaruh yang bagus di Pagar Tengah, jadi jangan penasaran bagai—”
“Ya, ya, ya. Terserah kau sajalah ….”
Meladeni pria satu macam dirinya melelahkan.
Bukan hanya karena muncul tiba-tiba terus mengganggu momen bersama Berlian, dia juga mengoceh tiada henti sembari mengungkit kejadian sekian tahun lalu yang bahkan tidak kuketahui.
Kalau saja dirinya bukan dari Belukar Semak yang besok lusa mau kudatangi.
“Aku mau menantang formasi inti di sektemu,” kataku padanya, “tapi kudengar kalian cuma bakal membuka gerbang buat orang-orang yang—”
“Soal undangan pertemuan bulan depan?”
“Benar. Jika kalian takut pada saudara seperguruanku ….”
“Jangan melihatku begitu, Tetua Mi,” ujarnya, buang muka dan menghadap ke arah lain. “Bila kau saja berani menikah, urusan sekte bukan lagi perhatianku sejak kita kembali dari Tanah Tenggara.”
Kutoleh istriku sekilas, tersenyum, lalu mendorong piring jeruk ke dekatnya.
“Tetua Mi, kenapa kita tidak membahas penjelajahan berikutnya?”
Aku balik melihat Tetua Bae.
“Jumlah ranah pembaruan aura tak banyak bertambah beberapa tahun ini,” ucapnya, “terus juga, satu-satunya transformasi tubuh baru setelah kita tidak berani bertempur di perbatasan.”
“Satu-satunya?”
“Leluhur Sabit Pedang. Bocah itu menerobos transformasi tubuh satu bulan setelah kita berhasil menemukan lokasi gerbang reruntuhan rahasia kerajaan kuno di Tanah Tenggara, ‘kan?” Ia melihatku. “Aku mengerti jika dia tidak langsung pergi ke perbatasan karena baru naik ranah, tapi sekarang situasi sudah berbeda.”
Aku tidak paham, lebih baik dengarkan saja.
“Pertempuran di perbatasan semakin menggila akhir-akhir ini …,” lanjutnya, “terutama setelah pagoda aneh muncul di sungai u—”
“Uhuk!” Hampir diriku tersedak. “Pagoda aneh?”
“Ya. Pagoda di Delta Sungai Kering. Tunggu, orang-orang yang diselamatkan Tetua Mentari Gelap dari sana tidak menyebut nama itu, tapi ….”
Kuperhatikan ekspresi wajah Tetua Bae saksama.