Segenggam Cinta 'tuk Berlian

Saepul Kamilah
Chapter #32

Belukar Semak

“Junior Mi.”

Aku menjuling, hela napas, terus menoleh. “Apa?”

“Adik ipar—”

“Kukirim ke rumah ….”

Tanggal 1 Bulan Sepuluh 223 Shirena.

Siapa sangka sekarang adalah setahun utopiaku runtuh. 

Juga, hari di mana Gerbang Belukar Semak kuketuk demi menyambung alur balas dendam atas perlakuan ayah mertua beserta negara kebanggaannya, Serindi, di Kubang Naga dan Kauro Lama.

“Karena kau gagal merebut hati Putra Mahkota, tempat paling aman buat istriku sekarang cuma rumah.”

Pagoda Kubang Naga, kalau kalian penasaran, bersama putri kami, Hie Soran.

“Maaf.”

“Bukan salahmu, kok,” ujarku lalu maju buat merabai gerbang sekte yang hendak kami jajal, “alasan Pu Ding gak menerima kita adalah aksiku dua bulan ini.”

“Ma-maksudnya?”

“Selain menantang formasi mutiara inti, kita juga mencaplok banyak sekte di Xuen, Nien, separuh Doko sama kota-kota kecil di barat Tianwu …,” jelasku sembari memeriksa pintu besi merah di hadapanku.

Jika belum paham, kota-kota yang baru kusebut adalah sumber pemasukan Kerajaan Ding. “Wajar bila bukit muara kita mereka benci terus masuk jajaran yang harus diwaspadai.”

“Maksudmu Pu menolak tarian naga terbangku karena merasa kita ini ancaman?”

“Kurang lebih,” pungkasku kemudian mundur ….

Formasi pelindung mereka sudah kuperiksa. 

Saatnya merapal teknik kedua di rangkaian Jurus Jari Petir, memanggil bayangan pedang yang terbentuk dari endapan energi berselimut petir putih, kemudian melemparnya ke udara serta membentuk formasi. Ctas!

Gerakan yang sontak membuat mata bocah sebelahku terbelalak takjub. “Waaah … Junior, apa jurus petirmu memang se—”

“Ini tingkat dua.”

“Membentuk pedang petir terus menggandakannya di udara jadi formasi lingkaran tiga lapis dengan delapan puluh empat bilah terbang. Aku ragu kalau ini betulan cuma jurus kedua.”

“Cerewet,” kataku lantas melempar mereka serentak …. 

*** 

Sehari sebelumnya, di Pagoda Kubang Naga.

“Janji padaku kau gak bakal pergi lagi.”

Ketika Berlian memegang pipiku sebelum kami berpisah.

“Pokoknya gak boleh,” tekanku, memeluk dirinya lebih erat. “Cepat bilang janji. Aku gak mau kau sampai dibawa Ayah Mertua la—”

Lihat selengkapnya