“Tadinya aku cuma mau menantang sekte ini kemudian mengambil papan nama kalian,” kataku ketika keluar bersama Tetua Bae dan para Veteran Tanah Tenggara, “tapi karena Leluhur Belukar Semak menawariku harta yang susah kutolak, jadi baiklah. Gak ada salahnya juga pergi ke tenggara bareng kalian bulan depan.”
“Haha. Aku tahu kau akan pergi bersama kami.”
“Ingat syaratku, Tetua Yang.” Kukeluarkan empat butir Pil Pemadat Inti dengan enam butir Penghalang Lapis Ganda ke hadapan mereka. “Kita bertemu dua minggu lagi di Bukit Muara ….”
Tanggal Satu Bulan Sembilan, 223 Shirena.
Kunjungan ke Belukar Semak tidak berjalan mengikuti harapan. Saudara Seperguruan Qin yang pada rencana awal harusnya bertarung hingga merebut papan nama sekte nomor satu se-Tianwu ini, hari itu malah menjadi alat tukar untuk hal yang entah lebih baik ataukah lebih buruk.
Ia, dipaksa menikah.
“Apa?!”
“Aku tahu ini mendadak.”
“Sangaaat!” sergahnya, pasang muka gak terima. “Tega sekali kau menjodohkanku dengan wanita yang ti—”
Dasar laki-laki. Mulutnya langsung melongo tatkala Mo Lin, gadis jelita yang hendak dijodohkan dengannya, muncul bersama Tetua Bae sesaat kemudian.
“Tutup mulutmu.” Kukatupkan mulut seniorku lalu beranjak menyambut mereka. “Tetua Bae, Mo Lin. Aku gagal meyakinkannya, saudara seperguruanku di sana terlampau kukuh. Dia gak mau dijodohkan de—”
“Junior Mi, apa calon istriku nona cantik satu ini?”
Bagus. Aku suka kepolosan si bocah, terutama rasa ketertarikannya yang gampang dipancing itu.
“Benar. Mo Lin adalah murid terbaik Belukar Semak,” sanjungku, melancarkan jurus kedua yang sebetulnya telah kusepakati lebih dulu bersama dua tamu kami. “Diberkati dengan tubuh spiritual obat langka serta berasal dari keluarga terpandang di Tianwu. Satu-satunya, dan cuma satu-satunya, murid terkasih leluhur sekte ini.”
Kulihat muka seniorku berubah murung.
“Sayang ….” Kudekati dirinya lagi. “Gadis kelas satu tersebut punya selera yang dalam tanda petik agak: unik. Ia malah jatuh hati sama pemuda biasa dari sekte terpencil yang juga baru keluar sarang.”
“Gak usah mengejekku.”
“Hehe.” Kurangkul bahu si bocah mendekat terus berbisik, “Gadis di sana betulan mau jadi istrimu, kau yakin mau menolak padahal mereka sudah rela melawan arus tradisi, hah?”
“Maksudnya?”
Kuperhatikan muka anak itu sebentar sebelum lanjut membisiki kupingnya.
“Biasanya laki-laki yang melamar anak gadis ….”
***
“Kau keterlaluan, Junior.”
“Aku tahu, tapi kau juga aslinya mau, ‘kan?”
Masih soal perjodohan minggu lalu.
Aku dan Senior Qin tengah meributkan Mo Lin, gadis Belukar Semak yang kami bawa pulang ‘tuk dikenalkan pada Ketua sebelum tanggal pernikahan mereka ditentukan.
Yang entah harus kunarasikan bagaimana ….
“Meski kau berkeras gak mau nikah buru-buru terus berdalih masih ingin berbakti pada Ketua sebelum itu, tapi beliau sendiri jelas mau dirimu punya kehidupan sendiri tanpa terbebani masalah sekte.”
Telunjukku mencuat ke muka Saudara Seperguruan Qin.