“Bagaimana?”
“Pak tua tadi gak bakal berani ganggu kita lagi,” jelasku, melaporkan hasil ‘perbincangan’ dengan Ling Kong, Leluhur Sekte Palu dan Tameng Emas, sesaat lalu. “Dia cuma titip salam buat Ketua sama memujimu, Senior. Katanya, formasi mutiara inti semuda dirimu punya potensi tak terbatas.”
Gak bohong. Pak tua itu memang banyak membual setelah menyerah di bawah tekananku, dia juga betulan bilang kalau bocah plontos di depanku ditakdirkan menjadi orang hebat sekaligus tokoh tekenal di masa depan.
“Beneran Tetua Ling Kong bilang begitu?”
“Tanya sendiri kalau enggak pecaya …,” kataku yang lalu melewati dirinya terus duduk di kursi tempat kami sebelumnya bicara, “ngomong-ngomong, Senior, cepat baca sisa laporan ini. Kau gak mau lihat kakak ipar?”
“Jangan mengalihkan topik dulu,” ujarnya, menyusulku dan lanjut pada kegiatan yang sempat terjeda. “Tetua Ling Kong bilang apa saja, kenapa dia datang ke sekte kita, terus kenapa aku tidak bisa mendengar percakapan kalian di meja taman tadi?”
“Satu-satu ….” Kudorong kertas di depanku ke dekatnya. “Kau gak bisa menguping karena aku memasang penghalang di sekitar kami, terus pak tua itu kemari buat minta papan nama sekte yang kita rebut kemarin.”
“Maksudmu papan nama—”
“Benar. Memang ada papan nama apa lagi selain yang kita lempar ke makam harta?”
Tanggal 14 Bulan Sepuluh.
Kesampingkan ‘insiden’ hari ini. Besok Bae Mon Dok dan sisa Veteran Tanah Tenggara akan berkunjung.
Mereka bilang mau membawa semua persiapan sebelum menjelajah reruntuhan situs bulan depan kemari. Itu artinya, pekerjaan-pekerjaan di sini harus sudah kubereskan sebelum nanti sore. Juga, setumpuk agenda buat antisipasi pas diriku tidak ada harus segera jadi.
“Apa yang kau tulis, Junior?”
“Jadwal patroli burung hantu, jam-jam kura-kuraku makan pil obat, sama tanda daerah mana saja yang harus diperiksa si Mera tiap dua hari sekali pas aku gak di sini.”
“Apa ini kebun bambu bukit belakang … Junior, kenapa peta-peta—”
“Jangan pura-pura gak tahu!” Kurampas kertas di tangannya balik. “Mereka itu formasi sekte, kalau enggak diperiksa gudang-gudang di sana gimana mau keisi.”
“Maksudnya?”
“Pelengkap resep pil sama bahan pemurnian pusaka.” Kurapikan kertas di tanganku. “Kau pikir semua datang dari mana kalau bukan dari tempat-tempat ini, Senior?”
“Ah—”
“Diam!” Kubekap mulut bocah plontos itu segera. “Ssst! Jangan bahas ini di depan Kakak Ipar, paham?”
Ia mengangguk pelan.
“Bagus. Selama gadis itu gak menemukan formasi kebun harta bukit muara kita, kau gak bakal punya masalah buat menjaganya tetap di sini seumur hidup.”