“Siapa mereka?”
“Yang kribo, Pilo. Kalau yang bulat terus punya jenggot sampai pinggang, Pato. Mereka yang akan mengurus ladang sama ternak kita selama aku pergi.”
“Salam, Kepala Biara.”
“Salam, Kepala Biara.”
“Aku bukan kepala biara,” ujar Saudara Seperguruan Qin, meluruskan informasi pada Pilo dan Pato. “Kalau kalian berencana tinggal di sini ….”
Ia melihatku, jadi kubalas lirikannya pakai senyum. Namun, dirinya malah geleng-geleng.
“Lupakan. Selama bersedia mematuhi aturan dan menjaga nama baik Sekte, kurasa aku tidak punya alasan ‘tuk menolak. Apalagi kalian berdua orangnya juniorku.”
“Benar. Dia seniorku …,” bisikku pada mereka, “jadi jangan membuatnya kesal.”
“Kami mengerti,” jawab keduanya, kompak. “Senior, Bos!”
Dua kurcaciku memang cepat tanggap ….
***
“Tetua Mi.”
Keesokan paginya, tanggal 16 Bulan Sepuluh.
Kerumunan di sekeliling Bukit Muara masih melebar. Bahkan, awan kelabu yang kemarin kulihat dari balkon kedai teh baru memayungi sekte kini telah menutupi separuh langit Xuen.
Benar-benar pemandangan luar biasa ….
“Jangan bilang kalian kekurangan lahan buat membuka kemah,” kataku waktu Tetua Kuni memanggil, “lihat langit gelap sebelah sana, Tetua. Bukankah penginapan-penginapan di Xuen juga sudah penuh semua?”
Eit! Kuangkat tangan segera pas mulutnya terbuka.
“Aku gak bisa bantu!” pungkasku kemudian pergi.
Huh. Kegiatan pagi ini benar-benar padat. Kalian gak bakal percaya kalau kubilang seberisik apa suara-suara yang sudah memanggil dan menjedaku buat sekadar tanya arah mulai keluar sampai selesai ambil air barusan.
Meskipun gak semua menyebalkan. Sebab, “Pagi, Tetua.”
“Tetua.”
“Tetua.”
“Tetua Mi.”
Selain Bae Mon Dok dkk. para pertapa ini cukup sopan serta pandai menempatkan diri. Mereka mematuhi batas-batas sekte sama gak ‘cuma kemari buat numpang buang angin’ ….
“Bagus. Kalian gak cuma numpang kentut, aku suka.”
Kuambil delapan butir Pil Bubuk Aroma Mimpi.
“Ini. Jalan sekitar sekteku biasa dilewati orang, terima kasih sudah membersihkan mereka. Bagi sama teman-temanmu, sana ….”
***
“Kenapa kau baru datang?”
“Aku masih butuh makan, mandi, sama—kalian tahu sendiri,” kataku di depan Tetua Bae dan para perwakilan tiga aliansi, “gak harus kujelaskan kenapa baru bisa kemari, ‘kan?”