“Junior, aku penasaran.”
Kuturunkan keranjang petsai dekat pintu dapur terus mendekat dan bergabung bersama Saudara Seperguruan Qin juga tunangannya di tepas.
“Kenapa kemarin ayah mertuamu kau cegah ikut ekspedisi?” tanya saudara seperguruanku, membuka topik dengan kejadian minggu lalu: ketika Ayah Mertua mengunjungi Sekte ….
Waktu kuminta beliau menjaga istriku sepenuh hati. “Ayah, tolong jaga Lian selama putramu ini tidak ada.”
“Bukankah kau seharusnya membenciku karena pernah coba memisahkan kalian?”
“Kalau Ayah mau.” Kupalingkan muka sejenak sebelum lanjut berkata, “Namun, Lian takkan memaafkanku seandainya tahu kita pernah beretamu di sini dan aku membiarkan Ayah pergi ke Reruntuhan Tanah Tenggara kemudian tidak pernah kembali lagi ….”
Banyak pertanyaan muncul setelah kukatakan alasan tadi pada Ayah, beliau juga tidak langsung setuju buat tinggal, tapi ia membuka ruang negosiasi waktu kutunjukkan Pil Penghalang Lapis Ganda kedua.
Cek! Aku tiba-tiba kesal ingat kejadian minggu kemarin itu.
“Jangan tanyakan hal yang membuatku kesal,” ujarku kemudian meraih pisau terus duduk membantu calon saudari ipar memotong sayur, “petsai-petsai di ladang sudah menguras tenagaku hari ini, tahu?”
“Hem. Aku kan cuma penasaran—eh, ya! Pato bilang, kau menyuruh mereka memanen semua petsai gegara besok mau turun salju, benar?”
“Benar,” jawabku lalu menoleh bakal istrinya, “seniorku kalau sudah banyak tanya begini, biasanya gegara dia grogi atau lagi salting sa—”
“Aku gak salting!” sergah saudara seperguruanku, bela diri depan tunangannya segera.
Padahal, baik diriku maupun gadis sebelahnya sama-sama maphum bila kalimat barusan hanya sekadar gurau. Namun, memang dasar masih polos, bocah plontos di sana malah menanggapi candaanku serius.
Pakai acara ngambek segala. “Aku kan cuma penasaran, memang salah kalau banyak tanya?”
“Adik Seperguruan Mi tadi bercanda, Ketua. Kenapa harus kasar dan membentak begitu?”
Muka Senior Qin berubah merah ditegur Mo Lin.
Macam jambu air siap petik ….
***
Tanggal 25 Bulan Sepuluh 223 Shirena.
H-6 Ekspedisi Tanah Tenggara.
Kalian gak bakal percaya kalau kubilang sudah sejauh apa persiapan kami.
Dua juta sekian ratus ribu pertapa dari seluruh benua melebur lantas membagi diri jadi tujuh kelompok dengan dua transformasi tubuh di tiap regu sebagai wakil dan kepala.
Mereka kemudian merangkap jubah sekte asal dengan mantel ekspedisi lalu mengibarkan tujuh panji menurut kelompok tadi: Naga Emas, Merak Biru, Macan Kumbang, Kerbau Putih, Semut Merah, Penyu Hijau, dan Duyung Ungu.
“Aku kebagian mantel hijau.”