Segenggam Cinta 'tuk Berlian

Saepul Kamilah
Chapter #43

Darat dan Udara

“Huh ….”

Aku topang dagu melihati jarum beserta benang-benang jalur pada peta di hadapanku, tidak percaya pada apa yang baru kudengar dari Tetua Yang mengenai situasi di selatan.

“Kenapa monster-monster besar ini bisa berkumpul di sana?!” jerit Tetua Sumo, sama herannya dengaku dan semua orang. “Tetua Yang, kau bilang tadi kita cuma mau membahas penyesuaian rute. Kalau situasinya buruk begini namanya bukan penyesuaian lagi, tapi perencanaan ulang—aku gak bisa terima!”

“Pelankan suaramu, Sumo. Kurasa maksud Tetua Yang, kita berkumpul di sini buat mencari alternatif.”

“Aku setuju dengan Tetua Guyun.”

“Aku juga,” dukungku, bersuara biar gak dikira acuh tak acuh. “Tetua Bae, kurasa kita harus memutar.”

Kutarik benang merah dari lokasi kami ke timur peta sampai ke laut, menancapkan jarum, belok kanan sampai pesisir pantai Kyongdokia lalu menancapkan jarum, terus belok kanan lagi sekali—terakhir.

“Mustahil.” Itulah respons yang kudapat dari semua orang. “Lupakan soal pasukan Serindi, kita bahkan tidak tahu monster besar apa yang menunggu di titik itu, Tetua Mi.”

“Apa kau punya saran lain, Tetua Zimo?”

Leluhur sekte pengrajin tersebut angkat bahu.

“Hah ….” Kuhela napas terus balik topang dagu, bersila di depan peta tadi sambil manyun. “Kalau gak nemu solusi malam ini, besok kita gak jadi—”

“Jangan pesimis dulu, Tetua Mi,” ujar Tetua Bae, berjalan ke sisi lain peta. “Kapal-kapal dengan kereta buatan Tetua Zimo semua adalah kendaraan tempur. Jika pengintai masih belum menemukan rute lain sampai tengah malam nanti, kita akan tetap maju dengan kekuatan penuh ….”

Begitulah hasil diskusi kami kemarin.

Perjalanan tetap dilakukan sesuai jadwal dan diriku kembali menyaru di antara mantel jerami Kemah Cabang Panji Duyung Ungu di kapal pengangkut mereka.

Menikmati perjalanan bak lagi berlibur ….

“Saudara Mi, kenapa kau kelihatan riang sekali? Seperti tampa beban.”

Aku menoleh, lantas turun dari pembatas geladak.

“Apa yang harus kurisaukan?” tanyaku, menanggapi mereka yang barusan menegur. “Kita sudah tidak perlu mengangkut barang dari satu kemah ke kemah lain, gak perlu lari bolak-balik tenda mutiara inti sampai kena omel gegara salah bawa herba bahan pil obat, terus enggak mesti antre buat dapat makan juga.”

Kucekak pinggang senang.

“Kenapa kita gak menikmati tamasya ke Tanah Tenggara ini dengan hati riang?”

Kala itu orang-orang melirikku aneh sampai ….

“Kau!” Seseorang memanggilku. “Iya. Yang bawa naginata dan pakai topeng kayu rata. Kemari ….”

*** 

Lihat selengkapnya