Segenggam Cinta 'tuk Berlian

Saepul Kamilah
Chapter #44

Daerah Liar di Selatan

“Mereka munduuur ….”

Satu lagi gelombang serbuan monster yang berhasil kami atasi di hari kedua pelayaran ke Tanah Tenggara.

“Para pembaruan aura di kapal induk lebih cepat tanggap ketimbang kemarin,” komentar para mantel jerami sebelahku, “mereka gak menunggu sampai kita melepas tembakan lagi.”

“Justru bagus. Kalau begini berarti amunisi kita akan jauh lebih hemat.”

“Kau benar, tapi kenapa orang-orang gila status di sana itu tiba-tiba mau turun tangan?”

“Kudengar wakil kepala panji kita kemarin mengomeli mereka—”

“Yang benar?!”

Kupingku berdenyut dengar gosip para awak. 

Ketegangan di muka mereka cepat sekali hilang, padahal sesaat lalu orang-orang ini masih menatap cemas dan sembunyi di belakang meriam dengan lutut gemetar. Berharap kapal pengangkut yang kami tumpangi luput dari lirikan makhluk-makhluk buas di tanah terlarang yang tengah kami arungi.

Hari kedua Ekspedisi Tujuh Panji ….

*** 

Kreak—Tring! 

“Selamat da—eh, Saudara Mi! Kau datang lagi?”

“Kenapa pertanyaanmu macam aku gak boleh berkunjung kemari?” timpalku, mendekat terus duduk depan bar seberang Susan, pramutama bar yang barusan menyambutku. “Kau gak suka aku ke sini, ya?”

“Haha. Bukan begitu, tapi kau kemari terlalu sering.”

“Apanya?” sangkalku kemudian topang dagu, “baru juga dua kali, kemarin sama hari ini.”

“Iyakah—”

“Bilang saja kau enggak suka aku di sini,” tembakku, menggoda wanita setengah elf itu dan menaruh sekeping perak. “Tuh, aku pesan segelas susu—enggak numpang duduk kayak kemarin.”

“Nah!” Sigap ia tungkup koin dariku pakai dua tangan. “Gitu, dong. Aku kan gak rugi membiarkanmu duduk lama di depan bar-ku, Saudara Mi.”

“Huh.” Aku mendengkus. “Lagian, kenapa kau bisa buka pub di kapal para pertapa begini, sih, Susan?”

“Kau sudah tanya itu kemarin.”

“Iya, tapi belum kau jawab serius, ‘kan?” sanggahku lantas merinci, “ kemarin kau bilang, ‘Aku dapat komisi besar dari serikat buat naik kapal ini, jadi jangan tanya lagi.’”

“Jawabanku masih akan sama,” ujarnya, lalu menaruh pesananku. “Segelas susu, Bayi Besar.”

“Terima kasih ….” Kutarik gelasku mendekat kemudian melepas topeng. “Entah sudah berapa juta tahun aku tidak ke bar macam sekarang.”

“Sehari kurang.”

“Ya. Aku ingat. Kemarin aku juga datang kemari.”

“Gaya bercandamu unik juga,” ucap si pramutama, “bilang jutaan tahun untuk jeda satu hari, kau berasal dari mana, Saudara Mi?”

Lihat selengkapnya