“Kenapa kau bengong, Tetua Mi?”
Aku menoleh ke kiri, lantas melesat dan teriak.
“Jangan ganggu aku sampai kita sampai di Tanah Tenggaraaa ….”
Meninggalkan Bae Mon Dok dkk. di depan Kantor Layanan Tikar Dagang Dua Pekan bersama muka-muka bingung mereka. Sesaat kemudian diriku kembali dengan topeng, topi, dan naginata setelah mengganti mantel berwarna menjadi jerami—sebagai Saudara Mi dari Kemah Cabang Logistik Panji Duyung Ungu.
***
Sebelumnya, ketika memesan jasa tikar dagang dua pekan.
“Jadi kalian gak bisa membantuku?”
“Kami bisa mengonfirmasi Reruntuhan Kyongdokia di selatan sebagai benar,” tutur Tilda, Manajer Kemah Tikar Dagang, waktu kuminta mereka membuatkan peta Puing Tanah Tenggara. “Akan tetapi, mohon maaf, kami tidak bisa menerima pesanan Anda ….”
Kupikir tadinya dengan datang kemari lalu menyewa jasa ‘tikar dagang dua pekan’ aku bisa sekalian membuat persiapan ekstra sebelum betulan menjelajahi puing dan dunia kecil di tujuan ekspedisi.
Sayang, diriku ternyata salah sangka.
Reruntuhan Kyongdokia memang benar ada, tapi tujuan perjalanan kami rupanya agak sedikit ke utara hingga mustahil bagiku ‘tuk mengambil persiapan di luar apa yang telah Bae Mon Dok dkk. lakukan.
Jadinya, minatku pada Ekspedisi Tujuh Panji sekarang seketika hilang terus alasan diriku mengunjungi tempat ini mendadak berubah.
Alhasil ….
“Aku mau menyumbang untuk membuka kemah rehat di Kerajaan Azura, Tzudi, Nadi, sama Sun.”
“Apakah—”
“Benar! Tolong bantu para pengungsi sampai mereka bisa keluar dari zona konflik.”
“Saya mengerti ….”
Resepsionis Kantor Jasa Kemah Rehat selanjutnya memberiku secarik kertas.
“Silakan tulis nominal yang ingin Anda donasikan dan tolong masukan uang Anda ke lubang ini, Tuan.”
Kuterima kertas tersebut, menulis nominal uang yang mau kusumbangkan, kemudian membuka dompet dan mentransfer sejumlah uang dari sana ke lubang ajaib di meja si resepsionis.
Sedetik berlalu, dua detik, hingga sekian menit kemudian.
“Sudah.” Aku tersenyum pada resepsionis.
Namun, balasan yang kudapat malah delik heran. “Tu-tuan?”
“Kenapa?”
“Be-berapa jumlah yang Anda donasikan?”
Aku toleh kanan kiri sebelum menjawab dengan berbisik.
“Cuma dua puluh.”
“Hah.” Ia tampak sedikit lega. “Saya baru pertama kali lihat dua puluh emas ditransfer selama itu—”
“Platinum.”
“Maaf?”
“Dua puluh platinum,” ulangku, meluruskan informasi sambil mengetuk kertas tadi dua kali. “Aku menulis dua puluh platinum di sini ….”
Lantaran keperluan di sana belum selesai, aku tidak begitu memperhatikan si resepsionis.