Kalau boleh, Noni hanya ingin tidur sepanjang hari. Membungkus tubuhnya dengan selimut tebal lapis dua. Tak peduli hawa panas udara bulan Juli akan mengukusnya hingga mekar seperti bolu pandan. Atau kupingnya membesar seperti kerupuk gajah karena teriakan mama sudah pasti dibarengi dengan bunyi-bunyian ajaib.
Sayangnya, kuota Noni “bermalas-malasan” bukan jenis yang unlimited. Papa dan mama hanya memberikannya jatah selama dua hari. Jadi, mau tidak mau Noni harus pergi ke sekolah. Kembali berjibaku dengan rutinitas yang persis sama dengan setahun yang lalu karena ia tinggal kelas. Tentu saja, sekalipun secara harfiah segalanya baru (termasuk sekolahnya karena Noni pindah sekolah) baginya semua sama. Tak ada yang berubah dari apa yang diulang kembali. Meskipun ia berada di satu tempat yang berbeda. Yang barangkali hanya segelintir orang tahu alasannya berada di tempat baru meskipun ia tidak memedulikannya sama sekali.
Alarm di ponselnya berbunyi dua kali. Noni menggeliat. Dengan gerakan superlambat gadis mungil itu membuka matanya yang pecak. Tangannya meraba-raba mencari benda pusakanya yang entah berada di mana.
Dari bawah suara mama memanggil-manggil. “NONI!”
Noni tidak menjawab. Fokusnya yang seburam nilai rapornya masih tersuruk-suruk mencari benda yang semakin keras menjerit. Tepat ketika akhirnya tangannya dapat menemukan benda tersebut, pintu kamarnya menjeblak terbuka.
“Non lo nggak mau sekolah lagi?” berdiri di tengah pintu, seorang gadis berambut panjang sebahu menatap gundukan selimut mengenaskan bergambar Minion yang bergerak-gerak lamban seperti ulat daun lagi bertransformasi jadi kepompong.
Lia, gadis itu menggeleng. Lia adalah adik Noni. Usianya hanya beda sebelas bulan. Karena Noni tidak naik kelas, sekarang mereka satu angkatan dan satu sekolah pula. Noni merasa beruntung untuk beberapa hal. Tapi Lia tidak begitu walaupun ia tidak malu kakaknya agak lelet di beberapa mata pelajaran. Kadang-kadang Lia tidak membantunya karena ia tidak mau membuat kakaknya merasa tidak berguna. Noni pun lebih suka meminta tolong Vivi, temannya semenjak kecil. Walaupun ia tahu Lia pasti dengan senang hati mau membantunya.
Noni yang masih tersuruk-suruk menggumam tidak jelas. “Emmrrrggh ... sekolah. Maaw ....”
“Ya udah kalau gitu cepetan gih. Gue tunggu di bawah.”
Dengan susah payah Noni mencerna kalimat adiknya yang telah berbalik dan bergegas turun ke bawah. Ia akhirnya bisa membuka matanya dengan sempurna meski rasanya masih sepat.
Kemudian, dengan upaya yang juga susah payah dibentuknya Noni bangkit. Duduk di atas kasur dan menggeliat lagi. Pandangannya semakin jelas melihat angka penunjuk waktu yang tertera di layar ponselnya.
Bagi Noni, pukul lima empat puluh merupakan waktu yang lebih dari cukup untuk menyambung tidur berharganya sebelum pukul enam tepat dan ia akan berkejaran dengan suara mama memburunya segera mandi. Noni masih punya dua puluh menit lagi untuk menuntaskan keinginannya yang sudah menjadi misi tidak mungkinnya di hari itu. Tapi ia tetap tidak kehilangan harapan.
Ia sedang separo jalan merebah ketika suara mama terdengar lebih dulu. Di susul tubuh gemuknya yang dikerodongi daster plus celemek yang cemong di sana sini. Seketika itu pula niat Noni bubar jalan.
“Cepat bangun Noni. Atau nanti mama pindahin aja sekolah kamu yang lama di sini?”
Noni turun dari tempat tidur. Dan ketika mamanya telah muncul di pintu, Noni tengah bersiap menuju kamar mandi.
Hampir mereka bertubrukan. Tapi lebih gesit, mama mengerem kakinya duluan.
“Kamu sudah bangun. Jadi mama nggak perlu pindahin sekolahnya ke sini. Repot.”
Noni nyengir. Sepintas, sebelum mama berbalik dan turun ke bawah, Noni menangkap sisa-sisa kegetirannya yang membara manakala dua nilai delapan tidak cukup mampu menghitamkan empat angka merah di buku rapornya. Bahkan nilai A+ kegiatan ekstrakurikuler yang ia ikuti juga sama sekali tidak membantu.
Mama adalah orang paling terpukul melebihi Noni sendiri. Tak ada yang bisa disembunyikan dari campur aduk perasaannya. Akan tetapi, memarahi Noni habis-habisan juga tidak akan menjadi mantra ajaib mengubah nilai-nilai akademisnya. Menuntut Noni macam-macam juga bukan jalan keluar. Meski baik mama maupun papa sama sekali tidak mengatakan; itu hanya tidak naik kelas.
Mama juga tidak memaafkan Noni karena bagi mama kegagalan Noni naik kelas bukanlah kesalahan. Satu-satunya yang disikapi mama, jikapun Noni menganggap itu sebagai kesalahan, mama berpesan untuk memperbaikinya. Cukup dengan satu pesan tersebut membuat Noni bertekad memperbaiki diri. Meskipun ia sendiri tak habis bertanya-tanya; apa sih yang kurang baik dari dirinya?
Noni menghela napas dan mengembuskan rasa ngilu yang hadir seketika itu. Dipandanginya tubuh gemuk mama dari belakang. Noni ingin menggabruk. Memeluknya sebagai permohonan maaf yang tak habis diungkapkan lewat kata-kata. Tapi ia mencegah diri. Telah semenjak lama ia keburu sadar jika keluarganya bukan keluarga sentimentil. Hal-hal demikian, seperti tiba-tiba menggabruk, hanya akan memicu ledakan yang susah dipahami selain dari efek samping yang akan menyisakan kesan aneh. Noni pun memilih membiarkan saat itu berjalan sebagaimana mestinya hubungan dalam keluarganya mengalir. Biasa saja dan tepat berada di tempatnya.