Noni diantar Lia menuju ruang guru untuk melapor. Keduanya berjalan beriringan menuju bangunan lantai satu yang diapit dua baris bangunan lantai dua membentuk leter H. Lia tahu Noni pasti panik. Tapi cewek yang justeru lebih tinggi dari kakaknya ini hanya diam ‘tak melakukan apa-apa’. Sebab, ia tahu betul, jika ia ‘melakukan apa-apa’ malah akan menambah Noni semakin panik. Kalau sudah panik, Noni akan kesurupan arwah Sinden Goyang Karawang. Menclok sana menclok sini. Ketawa ngakak yang tidak ada juntrungannya. Simpelnya, kalau sudah panik Noni akan jadi apa pun yang justeru hanya mempermalukannya. Seringnya begitu.
Jadi, Lia benar-benar ‘tidak melakukan apa-apa’. Paling-paling dia cuma ngomong, “Udah deket,” itu juga hampir tidak kedengaran. Lia pelan banget ngomongnya. Sementara saat Noni membalas dia ngomong apa, Lia menjawab, “Nggak pa-pa, itu tadi temen gue nyapa.” Lia meskipun jelas berbohong, tapi Noni tidak mempermasalahkannya sama sekali. Toh, memang hampir tiap anak yang berpapasan dengan mereka menyapanya. Dan sepanjang jalan menuju ruang guru juga bukan tempat sepi. Nyaris jadi tempat paling horor juga karena mata-mata tidak lepas memandanginya disertai celetukan yang bikin perut mual. “Li, anak baru, ya?”
“Lia kenalin gue dong!”
“Lia, cantik ya temen lo!”
Noni menunduk hanya agar dirinya tidak muntah. Tersenyum saat Lia menggebis galak ke beberapa cowok usil yang mereka lewati. Meskipun waswas, tapi dalam hati ia bersyukur sebab belum ada yang menyadari jika dirinya dan Lia adalah kakak-adik. Ketika Lia meraih tangannya, mengajaknya berjalan lebih cepat, Noni memutuskan untuk tidak menghiraukan perasaan waswasnya.
*
Di mobil, saat mengantar tadi, papa mengulang apa yang diberi tahukannya tempo hari. Bahwa ia akan berada di kelas yang walinya adalah Pak Saleh. Siapa Pak Saleh, Lia sudah kasih tahu? Noni mengangguk tapi di kepalanya ia seperti sedang dipaksa membaca peta yang teramat rumit. Noni menggambarkan kepalanya seonggok tas belacu kecil yang serta merta dipaksa muatkan beragam informasi yang menurut perhitungannya butuh waktu agak lama untuk masuk ke dalam sana. Tapi, sayangnya ia tahu waktu tak pernah berkompromi. Mau tak mau, siapa pun tak bisa menawarnya.
“Ini yang penting,” papa berkata penuh penekanan. “Ada dua Pak Saleh di sekolah kalian. Lia juga sudah kasih tahu kamu soal ini, kan?” Noni mengangguk, papa melanjutkan. “tapi papa cuma mau ingetin. Pak Saleh wali kelas kamu yang orangnya tinggi kurus. Ada tahi lalat di ujung mata sebelah kiri. Orangnya nggak banyak omong. Nanti kamu kasihkan rapornya ke dia.”
Noni masih mengingat deskripsi profil Pak Saleh wali kelasnya dengan baik. Tempo hari papa mengatakan jika Pak Saleh yang satunya lagi orangnya masih muda. Saat mengatakannya, ekspresi papa mengingatkan jika Noni gampang lupa.
Tepat ketika papa berbicara. Memintanya fokus mendengarkan, Faris menulis pesan: SEMANGAT. Tapi Noni tak tahu semangat untuk apa?
Pesan itu pun tidak ia balas. Bukan apa-apa. Ia hanya berpikir jika tidak semua pesan harus ia balas. Walaupun saat itu, ia juga tidak begitu selera mendengarkan papa bicara.
Memang, tidak jarang hal itu memancing keributan. Hanya saja, kalau sudah ribut, yang mana sampai blokir-blokir akun sosial media, tidak lama keduanya segera sadar; bahwa mereka tidak punya alasan untuk itu. Sebab, teman tidak insecure.
Noni menghela napas. Setengah mati menahan diri untuk tidak ketawa. Bagaimana pun, dia ogah dicap kurang separo meski bagi Lia itu tidak akan terlihat apa-apa. Mungkin “hanya hal yang biasa”. Tapi tetap saja. Ketawa sementara sama sekali tak ada yang bisa ditertawakan bukan cuma aneh. Siapa pun setuju begitu aturannya.
Lalu untuk mengalihkan pikirannya, Noni bermain-main dengan membayangkan situasi di sekolah lamanya. Ia membayangkan Faris lagi ngobrol berdua Vivi di kelas. Ngomongin dirinya. Membayangkan Vivi yang mungkin menolak duduk semeja dengan siapa pun seperti yang dikatakannya semalam tadi di telepon. Bukan tidak mungkin juga Vivi lagi berantem karena ada yang mengolok-oloknya. Faris juga. Lalu sekolah jadi heboh. Guru BP kerepotan karena harus menenangkan siswa-siswa baru yang mendengar atau melihat langsung kejadian itu. Pasti seru. Pikir Noni.
Noni hampir kelepasan ketawa sebelum kemudian ia menabrak orang, kelewat sadar pekikan Lia mengingatkannya setelah kejadian. Beruntung peristiwa tabrakan itu tidak berlebihan. Noni tidak sampai jatuh dan orang yang dia tabrak tidak juga serefleks pemain FTV menangkapnya. Berbarengan dengan itu, sebuah suara yang bikin pekak kuping menyembul.
“Yee ... baskom, lihat-lihat dong kalau jalan!”
Tidak memedulikannya, tindakan refleks Noni adalah minta maaf sama cowok yang ia perlu sampai mendongak menatapnya.
“Maaf, maaf nggak sengaja!”
“Nggak pa-pa,” jawab si cowok.
Noni tersenyum grogi. Sebentar ia tertegun menatap cowok supertinggi di depannya. Ini cowok kenapa tinggi banget, ya? Noni membatin. Dan baru sadar jika orang di depannya tampak terlalu tinggi karena jarak keduanya tidak lebih dari kira-kira selebar telapak tangan dan itu juga sebagian besar karena suara sember yang bikin pekak kuping.
“Yee dasar baskom, lihat-lihat kalau jalan!”
“Saya udah minta maaf dan dia juga udah maafin. Denger sendiri kan?” Noni berkata penuh tekanan. Menoleh bocah dekil berambut ijuk yang menyembul dari sisi kiri Si Cowok Tinggi.
Noni hampir ketawa lagi melihat penampilan wajah kucel yang dikenalinya itu. Tapi tidak jadi berhubung dia berulang-ulang menyebut baskom di depan mukanya, yang mana bikin perasaannya jadi campur-campur.
Cowok itu, yang menyebut baskom tinggal sekompleks dengannya. Sangat mungkin dia tahu tragedi baskom sialan itu bertahun-tahun lalu. Atau barangkali ia ada di TKP juga. Noni kepingin marah, tapi juga tidak jadi. Termasuk Lia yang melihat itu tidak beda jauh daripada tontonan konyol komika yang sering dia tonton di televisi. Ketimbang serem, wajah keling yang jelas sekali disangar-sangarin itu justeru malah terlihat menggelikan.
Lia membayangkannya seperti wajah cepot. Noni, lebih kurang ajar dari itu. Tapi tak satu pun dari mereka melepaskan bayangan masing-masing ke udara hanya demi sopan santun.
Sementara itu, Noni tidak sadar jika Yudhis, Si Cowok Tinggi tengah memandanginya sambil senyum-senyum. Di dalam kepalanya ia menduga-duga dan sangat yakin cewek di depannya ini anak baru. Gerak-geriknya memperlihatkan itu dengan gamblang. “Iya, beneran nggak pa-pa.” Katanya.
“Tuh denger sendiri kan, dia dua kali bilang nggak pa-pa.”
Senyuman Yudhis melebar. Sepintas tadi ia merasa kalau cewek kecil di depannya ini akan diem mangguk-mangguk saja dimarahi. Tipikal anak barulah. Hal itu mengingat ia tidak hanya sedang berhadapan dua cowok tok. Tapi segambreng cowok cenderung rese berjumlah enam orang sekaligus.
Ini tidak. Suaranya yang lumayan kedengeran seperti cewek baligh pada umumnya berbanding terbalik dengan postur tubuhnya yang sekecil hamster. Garis mukanya yang menonjol menunjukkan kalau ia tipe cewek berani. Barangkali sedikit selebor.
Buru-buru Yudhis melenyapkan senyumannya manakala Noni menoleh, menatapnya untuk memastikan bahwa ia benar-benar tak apa-apa. Yudhis mengangguk.
“Tuh liat lagi kan, dia ngangguk-ngangguk begitu.”
Sebelum urusannya jadi panjang, Noni beringsut meninggalkan TKP. Meraih tangan Lia dan gegas menuju ruang guru. Kata “permisi” yang meluncur dari bibirnya hampir menimbulkan efek kurang enak di kupingnya sendiri. Paling tidak, itu yang dirasakannya.
Beriringan dengan langkah kakinya yang derap, mendadak ia merasa isi kepalanya jadi tak karuan. Namun, kali ini bukan lagi karena tas belacu, Pak Saleh, serta peta rumit yang berantakan. Akan tetapi karena ia tak dapat memilah mana yang lebih mendesak; a) urusannya di ruang guru, atau b) sesuatu yang dengan lambat muncul berbarengan dengan kesadarannya akan itu. Bahwa kejadian barusan hampir persis sama bikin malunya dengan tragedi baskom kampret itu.
Kesadarannya yang berjalan santai mendeteksi adanya gejala serupa. Yakni, persamaan sikap kalem Faris dengan cowok embuh di depannya itu.
Siapa pun tahu, walaupun kemungkinan kecilnya sama kecil dengan lubang pori-pori di wajahnya, tapi dua kejadian yang sama berulang jelas bukan hal mustahil. Kemungkinan-kemungkinan semacam itu bukan jarang-jarang terjadi. Sementara ia sadar, dirinya dan siapa pun yang hidup memiliki potensi nasib yang sama rata, tanpa ada pengecualian. Tinggal waktu dan gimana alam mengeksekusinya saja.
*
Noni dan Lia serentak berhenti di depan pintu ruang guru. Meski dibuka lebar, Noni tetap mengetuk pintunya tiga kali. Seorang guru paruh baya, berjilbab ungu dengan perawakan kecil seperti dirinya, duduk di meja paling dekat dengan pintu mendongak. Guru tersebut menghentikan aktivitasnya mengetik di layar ponsel.
“Silakan,” katanya. Noni dan Lia berbarengan masuk. “Ada apa?”
“Bu Saroh, ini Nonita Ayudya. Murid pindahan dari SMA La Fontaine.” Tukas Lia.
Sebentar wanita yang tampaknya telah berusia setengah abad itu memperhatikan Noni. Lalu, ia mengangguk dan tersenyum. “Oh, iya. Mari.”
Bu Saroh bangkit dari duduknya. Berjalan mengajak keduanya ke ruangan di sebelah yang hanya disekat dengan lemari kaca berisi barisan piala. Noni terkesima. Ada ingatan yang khas menelisik manakala ia memerhatikan deretan piala mengilap di dalam sana. Dulu sekali, saat kecil, Noni pernah sangat ingin memiliki piala. Satu saja. Tapi, gimana caranya ia mendapatkannya, ia tak pernah tahu. Meskipun dulu papa sering mengajaknya nonton pertandingan badminton di stadion.