Dalam hati Noni meminta maaf berkali-kali. Oskar, jauh dari bayangannya sama sekali. Cowok itu, meski secara penampilan hanya geser sedikit ke kiri dari apa yang ia bayangkan, tapi secara keseluruhan tidak. Gaya ngomongnya yang ceplas-ceplos dan bajunya yang hampir tak beratribut itu betul-betul menjungkir balikan bayangan Noni.
“Eh, lo dari SMA La Fontaine kenal si Angga dong?”
Sambil menahan tawa, Noni menjawab, perlu sedikit mikir mengingat-ingat nama Angga yang dia kenal di sekolah lamanya. Dan, satu-satunya Angga yang berhasil ia ingat adalah anak dari guru BP. “Angga Darmawan?”
“Iya dia. Lo kenal? Behelnya udah ganti? Naiknya masih ninja, ya?”
Noni ngangguk. “Lo temenan sama dia?”
“Ho-oh. Dulu tuh pas SD dia nggak mau duduk sama anak lain. Maunya sama gue aja. Anaknya kan diem banget. Jarang banget ngomong. Even itu sama gue.”
“Iya paham-paham.” Noni ketawa.
“Nah, masih kayak gitu juga?”
“Emm ... ya kurang lebih sih. Anaknya emang diem banget.” Oskar menjentikkan jari. Noni mengangguk lagi. “Oh ya by the way, beneran nggak pa-pa nih gue duduk di sini. Takutnya udah ada yang nungguin.”
Oskar menggeleng kuat-kuat. “Nggak. Nggak ada. Tenang aja sama gue. Justru gue mau nanya ke lo, nggak pa-pa nih gw tempatin lo di sini?” Oskar memilihkan tempat duduk di baris kedua di belakang bangku pertama. Tepat dalam satu garis lurus dengan papan tulis.
Saat itu, kelas masih sepi. Belum banyak anak yang datang. Kecuali Oskar yang masih dipercaya jadi ketua kelas sampai nanti ada pemilihan lagi. Sehingga tugas pertamanya adalah mengatur tempat duduk anak-anak.
Inilah yang membuat anak-anak di sekolah ini lebih santai saat hari pertama masuk sekolah setelah kenaikan. Mereka nggak ribet rebutan tempat duduk karena guru kasih tugas ke ketua kelas untuk menatanya.
“Nggak kok. Makasih ya.”
“Sama-sama. Eh ya, ntar lo duduknya sama Bebi. Anaknya belum datang. Tenang aja. Bebi anaknya asyik kok. Dulu dia bendahara kelas. Masih ngejabat juga sih. Tapi anaknya suka telat. Makanya anak-anak juga jadi langganan telat bayar uang kas.” Oskar mengekeh.
Noni ikut tertawa. Pandangannya menyapu seluruh ruang kelas yang terasa monoton dari satu tempat ke tempat lainnya. Di mana pun, rasanya seperti itu.
Lalu satu per satu anak-anak mulai masuk kelas. Sebagian dari mereka, sibuk memprotes kebijakan Oskar yang menurut mereka ngawur. Lalu minta pindah tempat duduk. Atau minta ganti partner.
Yang Noni rasakan, sebagian dari anak-anak itu memperhatikan dirinya. Bertanya-tanya siapa dia dan Oskar membalas di sela-sela sibuk membalas protesan anak-anak. Suaranya lebih kenceng, dan Noni paham kenapa begitu.
Sedikit yang membikin lega, atau malah sebaliknya, belum ada seorang pun dari mereka mendekatinya mengajak kenalan. Noni bertanya-tanya dalam hati dan menunggu mana yang namanya Bebi itu.
Dan sementara menunggu, Noni kembali memperhatikan kesibukan Oskar yang semakin lama makin tenggelam dalam protesan anak-anak yang terus berdatangan. Noni terkesan dengan kerukunan itu.
Lama Noni ikut tenggelam. Membuatnya tak sadar, di depan sana, di bangunan seberang, sesosok cowok tinggi tengah memperhatikannya dari balkon. Cowok itu, menyamarkan senyumannya yang entah apakah punya makna atau tidak dalam tawa-tawa yang mengudara bersama kawan-kawannya. Hanya saja sejauh yang ia sadari, sekolahnya ini baru saja kedatangan satu mahluk manis yang tak diduga-duga. Yang barangkali, kedatangannya untuk memenuhi keinginannya yang tidak disangka-sangka.
*
Sekonyong-konyong, sebentuk tangan mungil dengan kuku bercat warna-warni muncul di depan mukanya. Diikuti suara kecil yang membikin siapa pun akan merasa kasihan mendengarnya. “Hai ... gua Bebi. Lu Noni kan?”
Noni mendongak. Kontras dengan suaranya, cewek yang berdiri di samping kirinya merupakan seorang cewek bertubuh bongsor. Seketika, Noni merasa akan nyaman berada di dekatnya.
“Hei ... gue Noni,” Noni meraih uluran tangan Bebi. Tangannya terasa dingin, tapi hangat bersahabat.
Sebentar Bebi meletakkan tas di atas meja. Lalu duduk di kursi sebelah. Cewek itu menopang dagu dengan sebelah tangan di atas meja. Memperhatikan Noni seakan-akan hal itu penting untuk dilakukannya.