Wangi memenuhi ruang luas kehijauan di bawah atap biru yang mendamaikan. Sekumpulan serbuk sari terbang merayu mengeliling lincah. Tiga bocah berumur sepuluh tahun saling bergandengan tangan berlarian menuju pohon rindang di tengah padang semak samun. Wajahnya polos bak langit yang membentang biru tanpa serabut awan. Tak hanya anak Ilalang dan rumput jarum, Zoysia Matrella menjelma bentang karpet hijau dari kejauhan pandang. Seperti mimpi-mimpi yang diikrarkan, di bawah cahaya langit tanpa keserakahan, taman rerumputan adalah petak harapan. Senyum menghias bibir-bibir mungil yang dengan semangat memintal kalimat untuk hari depan sebagai syarat penunaian janji.
Tiga bocah saling melepaskan gandengan tangan dari genggaman kawan cengkerama sejak permulaan lari di tepi permadani. Lalu duduk berjejer di naungan pohon yang memiliki bayang lingkaran. Tiga bocah saling berpandangan dan tertawa tanpa beban, lalu angin turut mengembus sejuk.
Aku merasakan sapuan gerak udara di kulit wajah, aku salah satu dari tiga bocah itu. Dua bocah lain adalah teman kecilku, Alya dan Euneng. Sembari mengeluarkan sebuah buku dari tas kecilnya, Alya memaparkan ketertarikannya pada pohon, tapi bukan pohon yang sekarang menaungi kami bertiga. Setelah jemari kecilnya dengan lincah membolak-balik lembaran yang aku tak tahu menuliskan ilmu macam apa, Alya menunjukkan gambar pohon yang menurutku aneh. Warnanya merah muda.
“Aku mah ingin berada di bawah pohon ini nanti kalau aku sudah menemukannya,” ujar Euneng semangat. Senyumnya seperti cahaya matahari di waktu duha.
“Ada tidak ya, tempat yang tidak memiliki rumput seperti ini,” Alya menggerakkan tangannya yang menunjuk pada sekeliling. Kepintarannya sejenak berkeliaran mengelilingi padang hijau yang masih tertiup angin lembut. Lalu kembali ke kepalanya. “Padang Pasir, aku yang akan ke sana,” wajahnya sumringah.
Aku tiba-tiba mengingat perkataan ustaz waktu mengaji, bahwa akan ada hari di mana seluruh umat manusia dikumpulkan di sebuah padang bernama Mahsyar. Walah, aku tak begitu paham bahwa padang yang Alya maksudkan bukan padang seperti itu.
“Semua bakal ke tempat seperti itu kata ustaz waktu cerita kemarin sore,” kataku dengan bangga memberikan informasi pada Alya dan Euneng yang kemarin tidak berangkat mengaji karena serempak sakit perut setelah makan jambu monyet yang tumbuh di halaman musala tempat kami mengaji.
Kutatap Alya dan Euneng satu-satu, keduanya menatapku dengan tatapan berharap. Ah, apa sih yang mereka berdua harapkan dariku?
“Kalau Miya ingin ke mana?” Mereka berdua bertanya bersamaan. Bersamaan dengan lengang dalam kepalaku. Bersamaan pula dengan pandangan yang tiba-tiba buram di hadapanku saat ini. Perlahan kusadari yang ada di penglihatanku adalah peta dunia dan peta Indonesia yang menempel di dinding berwarna kusam. Ke mana Alya dan Euneng? Aku tersentak mengangkat kepalaku yang ternyata baru saja menyandar di meja belajar. Tidak ada lagi bocah bernama Alya dan Euneng, yang ada hanya perempuan berumur 19 tahun yang baru terbangun dari tidur. Aku tertidur saat sedang membaca usai menyelesaikan tugas. Kalimat mujarab yang sempat kusebut semalam tidak kuasa membendung rasa kantuk yang terlalu.
-oOo-
Berkali-kali aku mengatakan pada diri sendiri agar tidak mengulur waktu. Yah, gara-gara tidur terlalu larut, malah nyaris pagi, aku bangun kesiangan—tak seperti biasanya—dan memakan banyak waktu untuk mencetak tugas semalam, bahkan merebut waktu sarapanku. Aku tidak sempat untuk sarapan walaupun Yasha—kawan sekamarku di kosan, sempat mengomeliku. Aku berjalan setengah berlari setelah turun dari angkot, keringat sebesar biji tomat menetes dari dahi. Di kejauhan kulihat gedung kuliah yang catnya telah nampak buram.
“Miya!” Seseorang memanggilku. Nama lengkapku Sumiyatun. Nama yang cukup cantik menurut orangtuaku. Memang agak memalukan bila aku menoleh ketika teman-teman memanggilku Miya. Tapi apa boleh buat. Miya lebih kece dibandingkan Sumi maupun Atun, bukan?
Aku menemukan wajah manis tersenyum, “Via!”, aku balik menyapanya. Dia teman seperjuanganku sejak menjadi mahasiswa baru setahun yang lalu.
-oOo-
2012
Aku adalah kepingan ingatan.
Barisan mahasiswa berkerumun di tanah lapang, wajah mereka polos siap dipoles. Merupakan pilihan, untuk membuat coreng-moreng atau lukisan penuh makna.