2016
Rumput selalu rimbun. Bunga di negeri kita bersemi sepanjang tahun. Tapi mengapa aku tak jua bisa menemukan mimpiku yang sempat hilang di rimbunan rumput dan wangi bunga-bunga? Alya... Euneng... ingatkah kalian, harapan apa yang pernah kuucapkan dahulu? Kita pernah membuat harapan dengan mahkota peri dari batang markisa, lalu memasangnya di kepala masing-masing. Tapi aku masih berdiri jauh dari kalian berdua, mahkota tumbuhan sulur itu kini hanya tersimpan di lemari usang ditemani sawang. Berdebu. Kulit sulurnya mengelupas, dan daunnya semua rontok.
Berbeda dengan mahkota sulur milik kalian berdua, masih cantik kalian simpan dalam kotak.
Kalian berdua juga tampak cantik sekarang.
Alya, wajah teduhmu kupandangi. Bibir mungilmu yang manis tersenyum, lalu mata sayumu menatapku dengan lembut.
“Alhamdulillah, semua ini kehendak Allah. Selama berada di Kairo, banyak pelajaran yang aku dapatkan. Tak ada kekalahan tanpa kemenangan. Banyak yang membuat aku ingin menyerah dan sesak tak pernah bisa kutahan. Tapi tangis bahagia serta sujud syukur lebih pantas kulakukan di sepanjang hari,” kata-katamu melantun bagai lagu rindu.
Perjumpaan kita tak ingin kuakhiri, Alya. Aku membayangkan negeri yang kau datangi untuk menuntut ilmu, negeri dengan Piramida. Ah, bicara tentang piramida, aku malah salah fokus. Ada piramida lain dalam imajinasi sebagai gambaran ikatan kita bertiga. Piramida di antara kita nyata. Aku adalah garis alasnya. Piramida di antara kita nyata, hanya aku yang belum bisa menggapai puncaknya.
Aku mengalihkan tatapanku pada wanita cantik lain yang sedang tersenyum ke arahku. Indah sekali wajahmu, Euneng. Hangat dan cerah seperti cahaya matahari yang baru naik sepenggal. Kuakui, kamu adalah keturunan dari suku yang terkenal sebagai “kembang”, pantas saja kamu tak pernah membosankan untuk kupandang.
“Lihat! Aku punya banyak oleh-oleh untuk kalian berdua. Aku bahkan membawa pesananmu Miya. Daun Momiji.” Euneng membuka kotak kardus yang dibawanya, lalu menunjukkan daun kering berjari tujuh, juga beberapa benda yang wadahnya bertulis Obara Art & Craft Center serta aksara Hiragana dan Kanji yang tak kumengerti.
-oOo-
Aku adalah aksara dalam diary Miya. Mengamati tidur gelisahnya. Masih mengamati sampai ia terjaga setelah dengan jelas menggumamkan dua nama, Alya dan Euneng.
Miya bangkit dari tidurnya. Mengusap wajah, lalu beranjak mengambil air wudu. Ia masih mengingat mimpi yang baru saja mengisi ruang senyap dalam istirahat malamnya. Mimpi pertemuan dengan dua sahabatnya yang berhasil menginjakkan kaki di tempat impian masa kecil. Hanya Miya yang tak bisa membagi cerita. Ya, karena hanya Miya yang tak memiliki tempat impian untuk dituju. Miya mengintip remang-remang dari balik gorden jendela. Masih perlu puluhan menit menjelang cahaya kemerahan mucul di langit timur.
“Tadi bukanlah mimpi,” gumam Miya.
Mimpi bagi Miya adalah kejadian nyata yang terjadi, sejak mimpi masa kecilnya di bawah pohon di tengah padang rumput hijau. Sebagian besar mimpi merupakan representasi hidup nyata. Mimpi bisa terjadi karena perjalanan yang dilalui, kejadian yang dialami, kecemasan masa depan, dan harapan yang terkemas di sanubari walau kadang tak disadari.
Aku tahu mimpi-mimpi yang Miya lalui lewat penyampaian aksara yang ia tuliskan dalam buku harian. Ya, itu aku. Walau hanya sekumpulan huruf.
-oOo-