Pada Serimbun Pohon

Aozora Rosyidi
Chapter #3

Asa di Langit Piramida

           2015

Zaman semakin renta, terseok memegang tongkatnya. Pada kerentaan ini banyak pula kerentanan, di sudut-sudut yang sesungguhnya dimengerti oleh siapa saja, tapi terbengkalai sendiri di antara hak dan batil yang bertukar posisi. Meski silsilah zaman sudah serimbun pohon jutaan tahun, kejayaannya tercatat di berbagai sejarah, tapi pada masa seburuk-buruknya kini masih dianggap penghuni biosfer sebagai zaman yang patut dipuji-puji sebab kecanggihannya. Ah, ya… demikian canggihnya hingga tak sebatas ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang mengalami perombakan yang kita namakan kemajuan. Kebudayaan yang tercabik bahkan diacungi jempol dikira peradaban mutakhir. Apanya yang maju jika gaya hidup kembali ke masa sebelum Sang Sebaik-baik Teladan dilahirkan?

Huaah! Memikirkan keadaan zaman ini tak ada habisnya bagai memikirkan jalan keluar dari pertanyaan angka-angka, berputar-putar di kepala membuatku ngantuk. Saking ngantuknya aku berenggan-enggan menjawab soal terakhir di buku kuliah. Kejenuhan inilah yang menggugah semangat untuk membuka media sosial. Ihiir.... Dengan menanggalkan perasaan berdosa karena belum menyelesaikan tugas yang harus dikumpulkan besok—walau hanya satu soal—aku membuka facebook, membaca status-status teman dunia Maya dari yang bentuknya motivasi hingga yang bergalau-galau ria. Aku heran, mengapa orang—termasuk aku—suka sekali meng-update diri sebagai manusia yang suka mengeluh dan terkadang sok pintar. Sialnya eksistensi sebagai makhluk [media] sosial memang lebih menjanjikan, sih. Ups. Sekali “mengintip” profil seorang teman, kita akan segera tahu permasalahan-permasalahan yang dialaminya, kebahagiaan atau kesedihan yang menyelimutinya. Merasa sudah baik sebagai teman perlu dipertanyakan jika ada sahabat karib yang berkesah di media sosial. Seharusnya berkaca, kurang apa kita sehingga tak cukup membuat sahabat merasa lega berbagi dengan kita, bukan dengan sahabat mayanya.

Aku membaca sebuah status facebook yang dirangkai dengan bahasa lincah, mengingatkanku pada sesosok perempuan bermata sendu dan berotak cemerlang. Kawan cengkrama dari masa kanak-kanak hingga mimpi memisahkan jarak antara puncak dan garis alas segitiga. Alya, kamu selalu punya cara untuk membuatku kagum sekaligus rindu bersamaan menerkam ruang asaku untuk mengambil paksa kenangan yang hilang dari peredaran mimpiku. Ah, sudahlah... Tuh, aku sudah lama belum juga bisa menemukan kembali mimpi yang hilang di hamparan zoysia[1].

Kemampuan sosialisasiku agak aneh, meski kata orang aku pendiam sebenarnya aku cukup asik jika sudah kepalang mengobrol. Ah, iya aku ingat bahwa Yasha sering memanggilku Oneng sebab ke-error-an otakku yang kata orang encer, tapi kalau sudah banyak pikiran akan bekerja lambat dan suka ngadat. Yasha terlalu sering menjumpai ketidaknyambunganku ketika dia ajak membicarakan sesuatu. Jadi jika dia memanggilku ‘Neng’ itu bukan karena aku orang Sunda atau karena anak majikannya—apalagi bersangkutan dengan nama salah satu sahabat masa kecil yang akhir-akhir ini mengganggu ingatan masa laluku—tapi penggalan kata ‘Oneng’. Huh! Sungguh tega sahabatku yang satu itu. Seumur-umur baru ini bertemu orang—selain diriku sendiri— yang tak megakui kecerdasanku. Yasha orangnya. Haha, biarin. Suka-suka dia saja lah. Lain kali kuceritakan tentang sahabatku yang cerianya kelewatan itu, aku sekarang sedang asik ber-messenger ria dengan sahabatku yang satu ini: Alya. Gadis manis yang memiliki senyum mirip artis penyanyi lagu religi. Yang entah, kini sedang melakukan aktivitas apa di negeri yang jauh. Membaca tulisan Alya di media sosial memancingku untuk menyapanya. Padahal biasanya aku terlalu terkecoh aktivitas sehingga dia yang menyapaku terlebih dahulu.

Assalamualaikum Alya... Apa kabar? Kangen, nih.

           Hening. Tiga titik menari-nari. Emotikon love muncul.

Waalaikumussalam, Miya... Alhamdulillah, sehat nih... kangen juga. Dirimu apa kabar?

Aku berpikir sejenak. Lalu menyentuh tuts merangkai jawaban sekaligus tanya baru. Alhamdulillah aku juga sehat. Gimana lanjutan opini kemarin?

Opiniku masuk seleksi Delegasi Resmi PPMI Mesir pada Si PPI Dunia ke-8 Cairo J

           Wah... Selamat! Keren deh...

           Aku tersenyum. Mengingatnya adalah mengingat kebahagiaan.

Adakah cara yang paling bahagia dalam hidup ini?

Aku bertanya dari jarak ribuan mil.

Bisa tersenyum. Alya menjawab begitu cepat seperti tanpa hambatan dari jarak daratan yang dibatasi samudra.

Hanya itu?

Aku memasang wajah berharap, berharap juga Alya bisa membayangkan wajahku meski tanpa menggunakan aplikasi videocall.

Tentu bisa berdekatan dengan-Nya.

Aku memahami maksud pesan dari Alya. Sebagai perempuan beruntung yang mendapatkan beasiswa untuk berkuliah di Negeri Piramida, Alya tentu sudah sangat paham tentang agama. Namun dalam konteks ini, bukan itu yang dimaksud—sebab itu sudah menjadi hal yang mutlak, setiap orang berkeinginan bisa mengenal, apalagi dekat dengan Sang Pencipta.

Selain itu?

Aku masih bersemangat memenuhi ruang obrolan di kotak pesan Alya. Kali ini agak lama Alya membalas pesanku.

Bisa berkomunikasi denganmu.

Aku tersenyum dengan perasaan berbunga-bunga di rongga nafasku yang serasa meluas dengan tiba-tiba.

Sudah pasti, dong. Ada lagi?

Sunyi. Malam terus merambat. Detik jarum waktu kuhitung saking lamanya Alya membalas. Aku sempat berpikir jika ada binatang malam yang menggondol network kami.

Yang seperti apa jawaban itu? Boleh ‘kan, gantian aku yang balik bertanya?

Wah, jangankan burung hantu atau jangkerik, sepertinya pesawat maupun kapal pun tak akan bisa mengganggu komunikasi antar benua kami.

Tentu…

Apa jawaban untuk hal ditanyakan tadi?

Kamu pun mengalami hal serupa

Kayaknya…

Lihat selengkapnya