Pada Serimbun Pohon

Aozora Rosyidi
Chapter #4

Di Bawah Pohon Masa Lalu

Di mana lagi aku akan mengikuti kalian. Usailah Miya berkisah tentang Alya. Lantas aku harus meneruskannya. Dengan kisah masa lalu, dua anak kecil yang masih suka-sukanya membaca aksara.

Akulah aksara itu.

2004

Miya menunjukkan sebuah dongeng yang disalin dalam bentuk gambar dari majalah anak-anak yang dibelikan oleh kakak perempuannya.

“Miya, nanti ke rumahku lagi ya. Kita menggambar bersama-sama seperti kemarin.” Ajak Alya.

“Tapi aku takut kena marah ayahmu lagi.” Respon Miya.

“Ya kita jangan mecahin gelas lagi.”

Keduanya tertawa mengingat peristiwa di hari sebelumnya. Saat Miya seperti biasanya main ke rumah Alya untuk membaca majalah anak-anak dan beberapa buku komik Indonesia yang mengisahkan tentang tokoh para wayang. Miya menyalin gambar perempuan seksi dari sampul buku cerita bergambar yang baru dibeli dari paman bersepeda yang suka membawa suara “ongek-ongek”. Tokoh wayang berhidung panjang berperan sebagai tokoh utama ikut terilustrasi di sampul. Saking terkenalnya si tokoh tersebut sampai para pembaca setia menamainya Buku Petruk. Miya menyalin gambar dengan serius, Alya mengamati di sampingnya. Keduanya tak mengerti mengapa kakak-kakak SMP yang kerap berkumpul di tepi lapangan suka melihat gambar serupa yang sering juga dijumpa pada lambaian slebor truk pengangkut sawit yang menderu-deru saat melaju di tanjakan, ada pula yang disertai tulisan “Kutunggu Jandamu”. Apa coba maksudnya? Tapi yang sedikit Miya dan Alya mengerti adalah kritikan ibu-ibu yang gamblang berkata “amit-amit” dan terkadang melafazkan istighfar.

“Nanti kena marah kalau kita menggambar ini.”

“Nggak, lagi sepi kok.”

Saat dengan yakin tak ada orang lain selain mereka berdua di ruangan itu, tiba-tiba seseorang muncul dari pintu pembatas ruangan. Karena kaget, Miya menutup buku gambar tapi gerakan tangannya yang tidak hati-hati menyenggol gelas hingga jatuh ke lantai dan pecah.

“Ngapain kalian tertawa?” Didi muncul tiba-tiba mengusir bayangan peristiwa pecahnya gelas. Dikira buku yang dipegang Miya adalah sumber kelucuan, Didi merebut buku tersebut. Membuat Miya jengkel lantas mengejar Didi yang sudah keburu lari. Pagi-pagi mereka sudah berkejaran di halaman sekolah.

Di halaman sekolah itu mereka bermain engklek, slodoran, gateng[1], kasti, kucing-kucingan, lompat tali, tebak angka, dan kejar-kejaran. Semua sisi sekolah adalah tempat favorit bagi mereka. Di pinggir bidang tanah sekolah ada jurang menuju sungai yang curam. Ada bekas bangunan di sana, lalu mereka suka sekali mengotori kemeja yang putih dengan serbuk-serbuk kemerahan dari hasil tumbukan batu bata. Mereka bahagia sekali pada suatu kali menemukan bayang puncak gunung seolah terlukis di langit biru.

Gedung sekolah yang didirikan sejak tahun 1982—pertama kali lahan transmigrasi dibuka di daerah itu—terdiri dari dua gedung yang masing-masing memiliki empat ruang. Memiliki halaman yang cukup luas mencakup lahan miring serupa jurang di tiap sisinya. Terkadang dengan iseng Miya dan Alya bergelesotan di tanah yang diselimuti rumput lalu perosotan.

Di belakang gedung sekolah yang sederhana, ada empat pohon nangka yang lebih sering dimanfaatkan dedaunannya ketimbang buah yang bahkan aromanya saja sudah menggiurkan itu. Terkadang anak-anak takut mendekat jika getahnya yang melumuri batang menjelma warna merah bagai darah.

           “Mahkota daun nangka buatanmu lebih bagus daripada milikku.” Adakah demikian pasrahnya seorang anak mengakui kekalahan diri. Kurasa semua anak berumur sepuluh tahun pola pikir egoisnya sama. Merasa diri lebih baik dibandingkan kawan, sehingga wajar jika banyak pula menangis kalah karena merasa terzalimi. Begitu pula si kecil Miya dan Alya yang bertengkar karena masalah sepele.

           “Sudahlah kamu lebih memilih dia ‘kan dibandingkan aku.” Dan anak-anak tak pernah sengaja macam-macam bertingkah apalagi merasa ada kamera yang merekam tingkahnya sehingga tak mungkin sebagai anak-anak, mereka merasa butuh keterampilan bermain peran. Apalagi di daerah terpencil yang jangankan untuk menjadi generasi jago acting seperti di “kotak ajaib”, sudah bisa bersekolah hingga tingkat menengah saja sudah merupakan suatu keajaiban.

           “Ya enggak. Kita semua ‘kan teman.”

           “Udah sana pergi.”

           Alya benar-benar pergi. Miya memperkencang tangisnya.

-oOo-

           Dua puluh tahun yang lalu, ini adalah wilayah hutan yang “digunduli” dan didatangi ratusan keluarga. Kini telah bertransformasi seutuhnya menjadi pemukiman. Mereka datang dari pulau seberang. Mengharap perubahan kependudukan atau bahkan perubahan nasib di suatu masa. Kurasa yang kedualah alasan yang lebih kuat untuk mereka berada di sana. Kebijakan yang telah ada sejak awal abad ke-19 ini, terus diprogramkan oleh pemerintah sebagai usaha pemerataan jumlah jiwa di pulau-pulau besar, bentuk usaha pemerintah untuk mengurangi populasi masyarakat Jawa dan penyejahteraan penduduk.

Sebagai generasi yang dilahirkan di tanah berbeda dari orangtua yang masih menjunjung tinggi adat daerah asalnya, membuat dua anak kecil yang duduk di bawah pohon palem itu bertanya-tanya:

"Pengen liat kampung halaman bapak-mamak."

"Di sana ada pohon sawit tidak, ya?" Miya memukul-mukul sebutir buah muda keturunan kingdom plantae[2] itu dengan golok tumpul yang mereka temukan ditumpukan abu bekas pembakaran sampah di belakang gedung sekolah, berusaha mengambil kernel[3] yang masih lunak.

“Enak. Rasanya mirip degan.” Kata Miya. Lalu Alya berminat pula. Melupakan percakapan tentang kampung halaman yang jauh demi isi buah sawit yang masih muda.

Klatak[4] enak tidak ya digoreng?” Tanya Tri, kawan Miya dan Alya yang datang tiba-tiba.

“Hahaha.” Miya dan Alya tahu-tahu tertawa menyambut kedatangan Tri dan pertanyaan lucunya.

Besoknya mereka masih suka membahas kampung halaman yang jauh sembari berharap kapan bisa menginjakkan kaki di sana. Masih sama. Di bawah naungan pohon. Tapi kali ini di bawah pohon para di belakang gedung sekolah. Menikmati sebungkus mie instan yang dimakan mentah. Tak mengindahkan peringatan orang dewasa bahwa memakan mie instan mentah bisa menyebabkan mie itu melar di dalam perut. Ya, iya lah.

Jahil tangan Miya melukai kulit akar pohon salah satu penghasil polimer[5] itu. Getah putihnya menggumpal dan lengket. Ya. Di tanah ini penduduk pendatang giat bertani sawit dan para. Beberapa yang lain mengandalkan padi dan palawija. Seperti juga orangtua mereka.

“Miya, kalau lulus SD mau lanjut ke mana?” Tanya Alya, gadis kecil manis yang tak suka menguncir rambutnya. Dibiarkan tergerai dimainkan angin.

“Ingin bareng sama Alya....” Jawab Miya, gadis kecil yang suka menghiaskan bando pada rambutnya yang agak pirang, bukan karena keturunan tapi karena suka panas-panasan.

“Kata Bapakku, lulus SD ini aku mau disekolahkan di Jawa.” Ungkap Alya.

“Wah, bisa melihat kampung halaman mereka, senangnya.” Miya memandangi wajah Alya dengan kagum. Miya sungguh tahu bahwa kondisi ekonomi keluarga Alya tentu sangat memungkinkan bagi tercapainya salah satu langkah menuju mimpi Alya yang ingin berkelana jauh dari desa transmigrasi yang mereka tinggali itu. Miya sebenarnya yakin jika ayahnya juga mampu untuk menyekolahkan dia ke Pulau Jawa. Masalahnya, tak ada tanda-tanda persetujuan yang ditampakkan pada wajah laki-laki bermata elang itu. Bahkan ketika Miya memancing percakapan tentang melanjutkan sekolah, ayahnya cuma berkata dengan simpel: “Di desa sebelah ada SMP kan?”

“Ke sekolah di daerah mana?” Tanya Miya walau sedikit pun belum mengerti bagaimana wujud Pulau Jawa selain gambar peta yang terpajang di dinding kelas. Apalagi ada sekolah apa saja di sana selain nama “Banjar Negara” yang pernah diceritakan Mamak menjelang tidur.

“Ke pondok pesantren di Jawa Timur katanya. Hehe, aku nanti akan memakai kerudung, menutupi rambut kaku ini.” Ungkap Alya dengan polos sambil mengibaskan rambutnya yang kaku. Belum mengerti perintah berjilbab yang sesungguhnya.

“Aku juga ingin menutupi rambutku yang merah ini. Kata Mamakku, rambutku waktu baru lahir sehitam kopi yang baru disangrai, tapi sekarang jadi jelek, karena keseringan main layangan dan memancing di kali.” Miya menaburi tanah kering di atas sayatan pada akar pohon para yang masih mengeluarkan getah putih kental dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya menggenggam erat kemasan mie instan yang belum juga kelar ia makan.

“Ayo, kamu juga ke pondok pesantren ya, Miya.”

Mereka tersenyum. Mengucap asa bersama.

“Iya.” Miya tersenyum kecut, agak ragu atas jawabannya seraya membayangkan wajah ayahnya yang galak dan melotot ke arahnya ketika ia dengan berani meminta sekolah di luar sumatera.

-oOo-

 

           Transubur, sebuah nama yang mempersatukan tiga desa di pedalaman kecamatan Muara Lakitan Kabupaten Musi Rawas ditambah dua desa bagian dari Kabupaten Muratara. Nama Transubur tersebut adalah sebuah harapan yang kelak bisa membuat wilayah transmigrasi yang mayoritas penduduknya bertani sawit dan para itu bisa bertumbuh dengan subur. Makna dari kata subur yaitu kemakmuran dan kesejahteraan penduduk. Hal ini bukan masalah khayalan tingkat tinggi, tapi keyakinan yang diiringi oleh usaha. Terbukti setelah sekitar dua puluhan tahun dari sejak daerah itu lahir, daerah tersebut terkenal sebagai daerah orang yang kaya. Sampai-sampai orang yang berasal dari daerah tersebut kebanyakan tidak akan mengungkapkan identitas daerah asalnya ketika berbelanja di pasar kota Lubuklinggau sebab desas-desus akan berakibat harga barang yang dibeli bisa lebih mahal dari biasanya.

           Ajaibnya, jangankan wilayah transmigrasi yang terletak di sebuah pelosok yang dibatasi hutan-hutan, juga barisan pohon berpelepah bagai tak berujung, bahkan mendengar kata Musi Rawas saja orang masih asing. Seperti pembuktian yang dialami oleh Miya delapan tahun mendatang dari umurnya yang sepuluh tahun, saat Ia mengikuti tes seleksi masuk perguruan tinggi negeri di ibu kota provinsi.

 

Lihat selengkapnya