Pada Serimbun Pohon

Aozora Rosyidi
Chapter #5

Tiga Anak Kecil di Hamparan Zoysia

2004

Anak perempuan berwajah manis itu berdiri di depan kelas. Menatap para siswa—penghuni kelas—di hadapannya dengan perasaan takut dan malu. Di sampingnya ada Pak Guru yang menuntunnya untuk berbicara. Miya menjawil lengan Alya.

“Dia mau sekolah di sini, ya?”

“Mungkin.” Alya mengangkat bahunya. Menoleh sekilas pada Miya, lalu fokus lagi melihat anak perempuan berwajah manis yang siap memperkenalkan dirinya.

           “Nama saya Ena Nurussaadah.” Dengan logat Sunda yang kental ia memberitahukan namanya yang indah. Seindah wajahnya.

           “Wah Neng dari Sunda nih? Neng ayo Neng....” Goda Didi sambil menyanyikan kutipan lagu yang sering diputar oleh penyiar radio, siswa laki-laki paling ceriwis di kelas lima. belum tuntas ia menyanyi, Pak Guru sudah menjapit telinganya.

           “Namanya Ena, Didi, bukan Euneng!” Jelas Pak Guru.

“Kok namanya Euneng, Pak Guru?” Suro, anak paling lambat dalam berpikir di ruangan bertanya dengan nada serius. Anak-anak yang lain tertawa.

 Sejak perkenalan itu, kawan-kawannya memanggil Ena Nurussaadah dengan sebutan Euneng. Termasuk Miya dan Alya yang paling ramah mengajak Euneng bermain bersama-sama di sekolah. Setelah tahu bahwa Euneng ternyata tetangga mereka, ketiganya lalu suka bermain bersama ketika di rumah.

           “Euneng juga ikut mengaji, yuk.”

           “Iya, ustaznya baik loh. Walaupun kadang galak.”

           “Nggak galak lah.”

           “Iya kamu nggak pernah dimarah. Aku pernah dilempar buah terung.”

           “Lagi pula kamu sih Miya. Masak terung dijadikan pembatas al-Quran.”

           Euneng tertawa mendengar cerita Miya dan Alya. Dia yang masih malu-malu, menganggukkan kepalanya. “Iya, nanti aku ikut ngaji, ya.” Bersama pula akhirnya mereka membiarkan langkah dihitung sebagai amal kebaikan di masa kecil berjatuhan merahmati orangtua mereka.

           Matahari sudah tergelincir memantulkan bayangan melewati sudut benda. Bergeser turun sedikit membiarkan si majikan bayangan berjalan, setia mengikuti. Setelah kalimat-kalimat merdu dilantunkan dari surau-surau, menyejukkan terik yang sedang ganas-ganasnya. Para tulang punggung masih banyak yang sibuk dengan aktivitas duniawi. Bahkan ketika suara tapak-tapak kaki-kaki mungil menyusuri jalanan yang berdebu—karena belum diaspal—tak juga menggetarkan hati para orang tua.

           “Asik, jambu monyetnya matang!” Matanya yang jeli dari kejauhan melihat buah berwarna kuning kemerahan menggantung menggiurkan membuat Miya mempercepat langkahnya. Meninggalkan Alya dan Euneng yang lalu ikut mempercepat ayunan kaki. Setelah meletakan kantung yang berisi perlengkapan mengaji dan memastikan Pak Ustaz belum datang, mereka bertiga menyerbu anacardium occidentale itu dengan semangat. Alya yang biasanya tak tertarik pada pohon manapun, siang itu menunggu Miya dengan setia hingga Miya turun dari pohon membawakan tiga buah jambu berbiji mete untuk Alya dan Euneng. Mereka mulai menggigit daging buah itu dengan sesekali menyipit-nyipitkan mata.

           “Tia!” Miya melambaikan tangan pada seorang anak perempuan cantik yang tinggal selangkah lagi sampai di ambang pintu masuk musala. Tia membalikkan badannya dan menghampiri ketiga anak yang masih berada di naungan pohon jambu mete.

           “Ih, Miya. Kemarin makan daunnya, sekarang buahnya. Nanti gatal loh. Kemarin aku makan jambu monyet, terus mulutku jadi gatal.” Kata Tia sambil sesekali mendongak mengamati apakah masih ada buah jambu monyet yang tersisa.

           “Miya makan daun jambu monyet?” Tanya Euneng.

           Miya mengangguk. “Kemarin mamakku bikin sambal terasi tidak ada sayurnya. Terus kata mamak kalau mau lalap, pakai daun muda jambu monyet enak. Enak beneran kok, iya kan Tia?” Miya mencari dukungan dari Tia yang kemarin juga ikut makan lalap daun muda berwarna kemerahan dan rasanya kelat itu.

           “Siapa yang mengambil buahku!” Suara Didi melengking dari jarak dua puluh meter. Membuat empat anak perempuan yang masih asik mengobrol seketika menoleh.

           “Buahmu? Ini kan pohon milik musala kok diaku-aku.” Miya menanggapi dengan muka sinis.

           “Lah itu kalian enak saja memetik buah sembarangan tanpa izin.” Didi masih tak mau mengalah.

           “Ini kalau mau.” Alya menyodorkan buah yang sudah tak utuh dan jelas bekas gigitannya itu.

           “Enak aja, bekas gigitan kok dikasihkan ke orang lain. Huh, dasar layangan plastik.” Didi mengeluarkan jurus ejekan plesetan nama Alya menjadi layangan.

           “Drododododot!” Miya membuka mulutnya membela Alya dengan membalas olokan Didi dengan plesetan namanya juga, Didi jadi drodododot.

           “Si Meong anak nakal suka mencuri ikan asin.”

Lihat selengkapnya