Dengan sedikit keterpaksaan, gue akhirnya menuruti juga permintaan nyokap buat nawarin usaha sablon kaos ke teman-teman gue. Ngga disangka-sangka ternyata respon mereka cukup positif, ada beberapa orang yang memesan kaos ke gue meskipun jumlahnya ngga banyak. Gue ngga berani ngasih harga segila nyokap gue, cukup gue sama ratakan dengan harga-harga yang berlaku di pasaran.
Selang beberapa minggu gue membantu nyokap mencari orderan, ternyata keuntungan yang didapat ngga sesuai dengan apa yang diharapkan. Semacam ngga sesuai aja gitu capek sama hasilnya. Gue mulai berpikir untuk mulai belajar setting desain, karna setiap gambar yang mau di sablon tentu melewati proses setting yang semula dikerjakan oleh tukang setting. Kegemaran gue corat-coret sesuatu dengan software coreldraw ternyata membuahkan hasil. Gue mulai sedikit demi sedikit bisa mengalihtugaskan kerjaan tukang setting, dan itu berarti keuntungan dari usaha persablonan ini sedikit bertambah.
Di sisi lain, bokap gue masih ngga berubah. Dia cuma bisa diem kaya patung dikasih nyawa, dan sesekali minta makan atau dibelikan rokok. Anehnya, bokap ngga bisa banget adaptasi sama perubahan yang terjadi di keluarga ini. Salah satu kebiasaan buruk beliau adalah menghabiskan empat bungkus rokok per hari. Bayangin aja ditengah keadaan yang sulit begini, bokap tetep ngga mau ubah kebiasaan buruknya itu. Buat makan sehari-hari aja kita udah engap, ini lagi harus sedia empat bungkus rokok buat dia. Kalau keinginannya itu ngga dipenuhi, wow sudah pasti bakalan ada pertumpahan darah di rumah. Entah nyokap yang disiksa atau adik-adik gue taruhannya.
Salah satu adik gue, Rama yang beda umurnya satu tahun dengan gue itu, akhirnya mengambil keputusan membatalkan rencana nya masuk kuliah setelah sempat ditunda beberapa tahun. Rama kembali merantau dan ikut bekerja di salah satu lahan perkebunan milik nenek. Tersisa tiga orang adik yang semuanya masih bersekolah. Gue sudah mencoba melamar pekerjaan kesana kemari, tapi semua menolak dengan alasan ngga ada lowongan kerja untuk anak jurusan seni musik. Bahkan pekerjaan part time sekalipun rasanya sulit menerima kehadiran gue.
Satu-satunya cara tercepat mendapatkan uang yang bisa gue lakukan adalah dengan ngamen. Dari awalnya gue terbiasa main musik di cafe-cafe, sekarang terjun payung ngamen dijalanan pun gue lakukan.
***
Skill gue dalam membuat desain sedikit demi sedikit mulai bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah. Sebagian teman-teman gue juga sudah mulai familiar dengan hasil karya yang gue cetak disebuah kaos sisa bahan orderan pesanan orang lain.
‘Gus, kalo bikin baju di lo minimal berapa pcs?’
‘Kalo kaos sih minimal selusin aja wo. Lo mau bikin kaos?’
‘Iya gus, band gue mau perform dua minggu lagi. Harga per kaosnya berapa gus?’
‘Lima puluh ribu dibayar tunai!’
Bowo mengernyitkan dahi sembari melihat ke arah tangannya yang gue tarik secara paksa untuk bersalaman.
‘Gus, lo masih normal kan?’
‘Hahahaha normal lah gila! Cepet di list ukuran kaosnya apa aja, desainnya mau kaya gimana sih?’