“Gus gawat!”
“Kenapa ma?”
“Nih liat deh hasil sablonan kaos pesanan teman kamu itu, jadinya begini.”
“Lah? Ma, ini kenapa tinta sablonnya keluar dari gambar begini sih?”
“Itu si Mang Asep punya karyawan baru, pesanan kamu dijadiin bahan buat tes karyawan baru itu.”
Seketika keheningan panjang pun terjadi. Di suatu sore hari yang cerah, waktu dimana sebagian orang sedang menyeruput hangatnya secangkir kopi sembari menikmati senja, gue justru dikejutkan dengan berita yang mendadak bikin gue pengen resign dari keluarga ini.
Pencapaian pertama gue dalam hal bisnis makelar sablon kaos ini gagal. Otak gue mulai keram, sel-sel saraf yang ada didalamnya seakan serentak mengibarkan bendera putih, memberi isyarat bahwa mereka menyerah untuk berpikir. Gue berusaha tenang, mengubah posisi gue yang semula duduk di kursi menjadi berdiri. Semenit kemudian gue mencoba posisi jongkok, selanjutnya kayang, selanjutnya sikap lilin, lalu salto sampai akhirnya gue memutuskan untuk kembali duduk di kursi.
“Ma, ini jadi gimana? Masih ada bahan sisa ngga? Diganti aja deh sama yang baru.”
“Ngga ada lah gus, ada bahan sisa, tapi cuma cukup buat bikin kaos ukuran anak-anak.”
“Ya ampun maaaaa, masa cowok-cowok bangkotan begitu mau dikasih baju ukuran anak? Bisa-bisa bajunya jadi model crop, yang udelnya keliatan kemana-mana. Bukannya keren malah mirip banci taman lawang.”
“Kamu urusin deh ya bagusnya gimana, mama masih ada urusan lain.”
“Lah? Maaa! Maaaaa!”
Bidadari tak bertanggungjawab itu seenaknya pergi dengan wajah polus tak berdosa. Sejujurnya gue mulai terbiasa dengan sifat nyokap gue yang selalu lepas tanggungjawab ketika ada masalah yang menimpa diri gue. Mulai dari uang semester kuliah gue yang tak kunjung beliau bayar, alat-alat musik gue yang ludes dijual, sampai bagaimana cara gue selalu bisa bawa uang setiap harinya ke rumah pun beliau tidak peduli.
Satu hal yang selalu beliau tekan kan adalah bahwa gue ini satu-satunya harapan beliau. Orang yang bisa beliau andalkan untuk membantu beliau mencari nafkah meskipun seharusnya ini bukan tanggungjawab gue. Anehnya, gue selalu sulit menolak permintaan orang lain dalam bentuk apapun. Gue selalu berusaha menerima, meskipun dalam keadaan terpaksa.
***
Tepat pukul 1 siang, gue tiba di rumah Bowo. Kehadiran gue disambut hangat oleh bapaknya Bowo yang hobi memelihara ikan sapu-sapu yang diberi nama Justin. Bapaknya Bowo memang sosok pribadi yang hangat, senang ngobrol kesana kemari dan bercanda tidak hanya dengan sesama manusia tapi juga dengan ikan sapu-sapunya. Andai hewan peliharaan bisa masuk daftar anggota di kartu keluarga, mungkin nama Justin ikut tertera di dalamnya.
Nama: Justin
Jenis kelamin: jantan