Lima lembar uang pecahan seratus ribu rupiah akhirnya dengan berat hati gue pinjamkan untuk nyokap gue sembari berharap apa yang dikatakannya segera menjadi kenyataan. Walaupun gue sadar peluang nyokap gue mendapat orderan pesanan baju hanya sekitar 20%, sisanya menunggu keajaiban.
Di sela-sela menunggu kabar penjualan tas gitar custom yang gue titip jual ke beberapa toko alat musik, gue mencoba belajar bagaimana cara mendapatkan orderan kaos sablon dari online. Di zaman millenial ini, dimana saat pasar online mendominasi, rasanya akan lebih mudah mencari orderan lewat internet dibanding harus berkeliling dari satu toko ke toko lainnya seperti yang dilakukan nyokap gue setiap harinya. Selain lebih hemat biaya operasional, cakupannya juga jauh lebih luas.
“Gus, mama berangkat dulu. Kamu masih pegang uang ngga? Takut nanti papa sama adik-adik kamu lapar pas mama belum pulang, pakai uang kamu dulu ya?”
“Ma... Bagus tuh pegang uang kan buat modal, kalau dipakai terus lama-lama habis dong ma.”
“Mama usahain hari ini dapat orderan, kan lumayan keuntungannya bisa di ambil di awal.”
Gue hanya bisa terdiam dan menggeleng-gelengkan kepala sembari menatap bayangan nyokap gue yang perlahan menghilang. Seingat gue, dalam hal bisnis bokap selalu mengatakan bahwa dahulukan kewajiban daripada hak. Selesaikan dulu kewajiban pembuatan baju sampai selesai, baru bisa mendapatkan hak. Entah kenapa, nyokap gue ini memang beda. Keuntungan dari satu pesanan di ambil terlebih dahulu, lalu untuk menutupi kekurangan biaya produksi, mengambil sebagian dana dari pesanan lainnya. Mungkin jika hal seperti ini dianggap sebagai strategi jitu, menurut gue hal ini bagaikan bom waktu, bisa meledak kapan saja lalu meruntuhkan segala tatanan yang sudah pernah dibangun.
***
‘Dicari yang bisa produksi jas almamater sebanyak 2000 pcs, proses selama satu bulan, DP 50%, perjanjian di atas materai. Minat inbox!’
Sebuah postingan dari salah satu grup facebook dengan komentar terbanyak cukup mencuri perhatian gue, sebab jarang ada yang mencari vendor produksi dengan kapasitas sebanyak itu di dunia maya, dan sang penulis postingan tersebut juga tidak sama sekali membalas puluhan komentar yang bertengger di statusnya. Gue sempat curiga bahwa postingan seperti ini hanyalah bentuk penipuan. Untuk membuktikannya, gue mencoba mengirim pesan melalui inbox facebook seperti yang sang penulis postingan inginkan.
Selang beberapa menit kemudian, muncul sebuah notif pesan balasan dari sang pembuat postingan viral tersebut. Singkat cerita, setelah berkenalan melalui telepon, gue dan Bapak Ari –sang pembuat postingan viral- menemukan sebuah kesepakatan untuk bekerjasama. Lusa, kami akan meeting di sebuah Mall. Ini adalah pertama kalinya gue diajak meeting orang penting dan juga membahas sesuatu yang penting. Di depan sebuah cermin persegi panjang, gue melihat jelas pantulan diri gue dari dalam cermin. Dengan sedikit polesan pada rambut dan memotong kumis yang sudah mulai menjulur panjang, gue pasti akan terlihat jauh lebih keren.
***
Sudah sebulan berlalu, Faris mulai risau dengan progres usaha yang kami rintis bersama. Faris mulai lebih sering menanyakan berapa tas yang sudah mulai laku terjual. Lagi-lagi gue teringat pesan bokap gue, idealnya menilai sebuah progres usaha yang baru dirintis adalah melihat perkembangan minimal 3 bulan pertama. Belum genap 3 bulan, Faris sudah mulai rewel macam pegawai minta naik gaji.
“Gus, kapan nih kita bisa bagi hasil?”
“Ris... ris, baru juga dagang sebulan, yang laku juga baru 5 biji udah minta bagi hasil. Gue kan udah bilang, kalau lu ngga percaya gue kelola bisnis ini, ya lu terjun juga dong kelola pembukuan keuangannya. Gimana sih, kan lu anak akuntansi?”