BUKAN MUSISI KALENG-KALENG

Erlina Ardiani
Chapter #7

Di dalam tubuh yang sehat, terdapat saldo yang meluap

Langkah kaki gue sedikit terasa ringan seusai meeting dengan Pak Ari, orang yang mempercayakan pemesanan 2000 pcs jas almamater untuk gue kerjakan dalam jangka waktu satu bulan. Selepas menyandarkan sebuah motor bebek jadul ke pagar rumah tetangga, gue berjalan sambil bersiul-siul dan sedikit menari ala penyanyi Michael Jackson. Sepasang sandal merk swallow yang pengaitnya sudah diganjal paku kecil agar tetap bisa dipakai, gue lepas dengan hati-hati, lalu gue angkat tinggi-tinggi ke atas dengan satu tangan dan gue kibas kan ke arah belakang gue persis seperti seorang bussines man melepas jas nya dengan penuh gaya.

*PLAK!*

“Huaaaaaaaaa! Mamaaaaa!”

Gue membalikkan badan lalu menoleh ke arah sebuah tanah kosong yang berada dekat rumah kontrakan nyokap gue. Betapa terkejutnya gue ada seorang anak kecil berusia 3 tahun sedang menangis tersedu-sedu sembari menutup wajah dengan kedua tangannya. Tak jauh dari posisi si anak berada, gue melihat sepasang sandal swallow buluk yang sangat gue kenal juga ada disana.

“Bayuuuu! Kenapa nangis?”

“Itu ma dilempar sendal sama abang Bagus!”

Seorang ibu paruh baya yang khas dengan baju daster polkadot nya keluar dari dalam rumah saat mendengar anak bungsunya tiba-tiba menangis. Sorotan kedua mata ibu yang anaknya baru saja terkena lemparan sepasang sandal secara tak sengaja itu terlihat sangat tajam, seperti macan buas yang sudah setahun belum makan daging segar. Gue bergidik ngeri. Seakan tidak ada pilihan lain, gue pun terpaksa mengeluarkan jurus terampuh yang gue miliki demi selamat dari terkaman macan garong.

“Hmm.. maaf Mpok Nani, saya ngga sengaja tadi lepas sendal kena si Bayu hehe.”

“Maaf-maaf! Lu kira anak gue rak sepatu, nyimpen sandal sembarangan aja lu!”

“Hehe iya maaf mpok, namanya juga ngga sengaja. Kirain tadi ngga ada orang.”

“Makanya apa-apa pake mata dong! Liat tuh kepala anak gue jadi merah begini.”

“Iya mpok, sekali lagi maaf ya. Ini buat sembuhin memar kepala anak mpok.”

Gue mengeluarkan selembar uang dengan nominal pecahan sepuluh ribu rupiah dan memberikannya untuk Mpok Nani, tetangga depan rumah yang pagarnya sering jadi tempat motor gue bersandar karena standar motor yang sudah rusak parah.

“Aduh hari gini sepuluh ribu doang mah dapet apaan Gus!”

“Kan beli hansaplast bisa mpok, sisanya buat jajan masih ada kembalian itu.”

“Hansaplast di rumah gue udah banyak! Ini mah kepala anak gue benjol Gus, kagak mempan lu kasih hansaplast!”

“Et dah mpok, yaudah nih Bagus tambahin.”

“Lima ribu lagi sini, lumayan buat beli token listrik.”

Gue menelan ludah dalam-dalam setelah merelakan uang dua puluh lima ribu rupiah yang gue berikan untuk Mpok Nani demi menebus kesalahan gue yang tak sengaja itu. Oh, indahnya negeri ini, hampir semua masalah bisa terselesaikan jika ada uangnya.

Lihat selengkapnya