Satu minggu berlalu. Gue mencoba berdamai dengan keadaan, menerima kenyataan bahwa saat ini mungkin gue sudah tidak di anggap lagi menjadi bagian dari keluarga Didi S.H, M.M. Bokap marah besar saat mengetahui bahwa gue memang sudah tertipu. Beliau dengan ganasnya mengeluarkan umpatan-umpatan kasar yang sampai saat ini sulit untuk gue lupakan. Bahkan beliau tak segan-segan menyuruh gue untuk angkat kaki dari rumah kontrakan itu.
“Ngapain masih diam disini??”
“Pa, ma, maaf ya Bagus udah bikin papa mama kecewa.”
“Maaf kamu ngga akan bikin keluarga ini jadi banyak uang Gus!! Mending sekarang kamu pergi!”
“Pa, kasihan Bagus.. nanti dia mau tinggal dimana kalau di usir..”
“Ngga perlu kasihan sama anak pembawa sial kaya gitu ma!”
Semenjak diusir dari rumah kontrakan nyokap bokap, kehidupan gue semakin tak terarah. Bisnis yang gue rintis bersama Faris pun kacau. Barang-barang yang telah diproduksi, kalah saing dengan brand alat musik ternama yang kini serius merambah ke arah accesoris juga. Faris sulit menerima kenyataan, hubungan gue dan Faris pun merenggang. Hal yang bisa gue lakukan sekarang adalah terpaksa menggantungkan hidup kepada Bowo. Hanya dia satu-satunya teman yang bersedia menampung gue tinggal sementara di rumahnya, meskipun dengan syarat menggantikan tugas bapaknya mengurus Justin si ikan sapu-sapu sementara waktu.
“Wo, bapak sama ibu pulang kampung dulu satu minggu. Kamu sama Bagus yang akur ya, jangan lupa selalu cek makanan dan kebersihan aquarium Justin.”
“Iya pak.”
“Pak, bu. Terimakasih yaa udah nampung saya sementara disini, saya jadi enak hehe. Mudah-mudahan rezeki bapak sama ibu sekeluarga dilancarkan yaa, amiiin.”
“Amiiin, santai aja dek Bagus, kamu jangan ngerasa sungkan ya disini, kamu tuh sudah saya anggap seperti anak sendiri.”
“Bisa minta uang jajan dong pak? Hehehe becanda ya pak.”
Semuanya tertawa lebar mendengar candaan gue barusan. Siang ini, gue menjelma menjadi seorang supir dadakan untuk mengantar kedua orang tua Bowo berangkat ke stasiun. Demi menyambung hidup, gue rela melakukan apa saja selama masih halal. Urat malu gue juga sudah gue putus secara paksa, agar tidak lagi ada rasa minder dalam diri gue.
Setelah kedua orang tua Bowo berangkat ke kampung halaman, sikap Bowo mendadak berubah drastis. Dia tidak lagi seperti Bowo yang gue kenal saat ada orang tua nya di rumah. Bowo ingin diperlakukan seperti seorang raja yang segalanya selalu ingin dilayani.
“Gus, ambilin gue minum dong!”
“Dispenser kan lebih dekat dari lu wo, masa masih nyuruh gue juga?”
“Kan tuan rumahnya sekarang gue, lu kan numpang, jadi ya suka-suka gue lah!”