Di sebuah kamar kecil berukuran 2x3 meter yang gue sewa menggunakan uang pinjaman dari Bowo, gue mulai melakukan meditasi. Bersemedi sambil mulut terus komat-kamit mengucapkan mantra pemanggil dewi keberuntungan. Sudah beberapa tahun belakangan ini, gue merasa dewi keberuntungan enggan hadir dalam kehidupan gue.
Usaha yang gue rintis semuanya berantakan, gue juga di DO dari kampus, di usir orang tua sendiri, bahkan di musuhin teman dekat pula, ini semua semacam paket komplit dari segala kesialan yang diberikan dalam kehidupan gue. Sempat terlintas untuk mengakhiri saja umur gue dengan segera, tapi rasanya gue masih senang dengan aroma soto ayam ketimbang racun tikus yang batal gue tenggak.
Selesai menyantap soto ayam dalam bentuk mie instan, gue mulai menata ruangan dengan apik. Satu tas ransel berisi beberapa pakaian, buku dan sebuah handphone, gue susun sedemikian rupa agar sedap dipandang. Disaat gue tengah asik merapihkan barang-barang, gue melirik ke arah layar handphone yang tiba-tiba menyala, pertanda ada pesan chat masuk.
“Hai Libra Boy, gimana kabarnya? Lu masih hidup kan? Hehe.”
Sebuah pesan singkat dari teman anonim gue bernama “Dian Sastra” tiba-tiba menanyakan bagaimana kabar gue. Apakah selain jago menulis puisi, manusia ini juga jago membaca pikiran orang? Bagaimana bisa dia datang disaat yang tepat seperti ini? Yah, mungkin ini sebatas kebetulan semata.
“Eh mbak dian, kabar gue baik kok hehe. Lu sendiri gimana?”
“Buruk. Eh teleponan yuk, gue bete nih.”
Mata gue terbelalak membaca pesan balasan dari nya. Sungguh, zaman memang sudah berubah. Para perempuan kini semakin di depan. Rasanya baru pertama kali ini ada perempuan yang lebih dahulu mengajak gue teleponan.
***
Hasil meditasi kemarin, memacu otak gue untuk terus berpikir bagaimana bisa tetap bertahan hidup dengan segala upaya yang gue punya. Gue mulai bangkit dan memulai lagi usaha jasa desain yang sempat vakum. Kendala gue saat ini adalah tidak ada laptop atau komputer untuk membuat desain, namun hal itu tidak menghalangi tekad gue dalam mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Setiap harinya, jika ada pesanan logo yang masuk, akan gue kerjakan di sebuah warnet dekat dengan kontrakan baru gue. Selain itu, gue juga memberanikan diri lagi terjun lebih dalam ke bisnis produksi baju custom, meskipun rasanya seperti sedang mendayung rakit menuju ke hulu sendirian. Capek.
Keterbatasan dana yang ada, memaksa gue secara tidak langsung mengkoordinir semuanya sendirian. Namun kali ini dapat dipastikan, gue tidak akan gegabah dalam melakukan suatu hal apapun. Gue mulai membiasakan diri bergaul dengan lingkungan para pegawai, mulai dari tukang sablon, tukang bordir, dan juga para tukang jahit. Semua gue lakukan demi mencari ilmu, langsung dari orang yang berpengalaman di bidangnya.
“Bang, ngomong-ngomong udah lama jadi penjahit?”
“Lumayan bang, udah sekitar 2 tahun.”
“Biasanya kalau lagi ramai per minggu dapet berapa bang?”
“Wah kalau lagi ramai sih lumayan bang bisa nyampe 1 juta. Tapi kalau lagi sepi gini paling juga 300 udah syukur. Ya begini dah namanya juga kerja sama orang, si bos enak ngga kerja dapet bagian.”
“Kenapa ngga buka tempat jahit sendiri aja bang?”