Kerjasama bisnis yang terjalin antara dua tim, gue bersama Alina, lalu tim selanjutnya yaitu bokap dan nyokap gue dimulai sejak hari ini. Kami berbagi tugas layaknya menjalankan bisnis dalam sebuah perusahaan besar dimana gue sebagai seorang direktur, Alina sebagai kepala divisi keuangan, nyokap gue sebagai kepala divisi marketing, sedangkan bokap sebagai kepala divisi produksi. Semua memegang tugas dan tanggungjawab masing-masing di bidangnya.
Setiap hari, kami rapat pukul 9 pagi, lalu dilanjutkan sesuai agenda masing-masing. Jam kerja berakhir pada pukul 10 malam. Karena tim kami masih sedikit sumber daya manusia nya, oleh karena itu untuk urusan membeli bahan, gue dan Alina lah yang mengerjakannya. Tentu dengan senang hati, ibarat sambil menyelam minum air. Sambil belanja sambil pacaran hehe.
“Udah di catat hari ini kita belanja apa aja?”
“Udah semua kok, tinggal berangkat.”
Rutinitas seperti ini terus berlangsung selama hampir 7 bulan lamanya. Meskipun dalam perjalanannya, hambatan akan selalu ada, namun kami sebagai tim terus berusaha agar selalu solid. Ujian terberat datang ketika gue memutuskan untuk menjalin hubungan lebih serius dengan Alina menuju jenjang pernikahan.
Acara pertunangan kami yang berjalan mulus ternyata tidak menjadi acuan bahwa pernikahan kami juga akan berjalan mulus. Faktanya, semenjak kinerja kerja nyokap gue mulai melemah, hampir semua pekerjaan menjadi tidak fokus dan berujung pada kerugian. Dan lagi-lagi, bokap tidak bisa menerima fakta bahwa bisnis yang sedang berjalan ini mengalami kerugian lagi. Hal ini berimbas pada rencana pernikahan gue dan Alina.
“Yang, kalau pahit-pahitnya acara nikahan kita nanti orang tua gue ngga mau datang gimana?”
“Ya... mau gimana lagi, undangan udah disebar, catering dan lain-lain udah siap, fitting baju juga udah, masa mau dibatalin?”
“Gue ngga ada niat batalin... cuma gimana gitu rasanya nikah tanpa dihadiri orang tua padahal mereka masih hidup. Gue tau, laki-laki memang bisa nikah tanpa perlu wali, tapi....”
“Ssttt.... udah lah, lu juga ngga bisa maksa mereka kan? Intinya sekarang, lu masih mau lanjut apa engga? Biar gue juga yakin. Gue tau lu sedih, gue juga sedih. Mau bilang apa coba gue ke orang tua gue nanti?”
“Gue yakin mau terus lanjutin hubungan kita, tapi masalahnya masa iya ngga ada satu pun dari keluarga gue yang datang? Gimana kalau minta bantuan ke kakak tiri gue aja buat jadi wali nya. Sekalian mama tiri gue juga. Jadi ngga kosong banget kan kursi wali nya nanti?”
“Ya... bebas, asal mereka nya mau.”
“Pasti mau, nanti gue coba ngomong.”
***
Satu bulan berlalu. Selepas acara pernikahan gue yang tidak dihadiri oleh kedua orang tua kandung gue sendiri, gue mulai terbiasa menata hidup dan memulai semuanya dari nol bersama Alina. Berbekal sisa uang saweran hajatan yang tersisa serta perabotan hadiah dari para tamu, gue menyewa sebuah rumah kontrakan kecil untuk kami berdua. Sebuah ruangan dengan satu sekat untuk bagian kamar mandi yang bersebelahan dengan dapur mini.
“Hueeek! Hueeek!”
“Kenapa yang?”
“Ngga tau nih gue agak mual, kepala gue pusing juga.”