Satu tahun hidup satu atap bersama Alina dan Andi anak gue, semua nya semakin terasa mudah. Gue tidak lagi terjun ke dalam bisnis makelar baju, dan kini gue hanya fokus dalam bisnis desain grafis. Tempat tinggal kami juga sudah berjauhan dengan kedua orang tua gue, karena saat ini kedua orang tua gue ikut dalam bisnis yang dikelola oleh adik dari bokap gue.
Gue dan keluarga kecil gue mulai tenang, keuangan kami pun perlahan membaik. Gue mulai bisa membeli sebuah kendaraan layak pakai, serta mencicil sebuah rumah yang kini masih dalam proses pembangunan.
“Yang, tumben belum tidur? Kan dede nya udah tidur.”
“Iya, gue ngga bisa tidur, kepikiran sesuatu.”
“Apa?”
“Gue ngerasa insecure deh sama gelar sarjana gue, apalagi sekarang cuma jadi ibu rumah tangga.”
“Bukannya lu yang mau jadi ibu rumah tangga? Kata lu biar bisa full ngurus anak, ngga mau nanti anak lu deketnya sama pembantu.”
“Yaaa... iya sih, tapi.. gue ngerasa bosan aja gitu sama rutinitas gue. Begini-gini aja.”
“Kenapa lu ngga nulis lagi? Itu bukannya cita-cita lu dari dulu?”
“Waaaaa! Iyaaaa itu! Itu deh kayaknya yang bisa bikin gue semangat lagi! Makasih sayangkuuuu.”
Alina berkali-kali mencium pipi gue dan menyisakan bekas bibir berwarna merah. Ia nampak kegirangan sambil membuka laptop nya. Entah apa yang ia tulis disana, semoga saja bukan tentang perjalanan karir gue yang sempat ambyar.
***
Rutinitas yang ditekuni Alina ternyata membuahkan hasil. Kepiawaiannya dalam merangkai kata, membawa namanya menjadi salah satu penulis pendatang baru dalam kategori novelis fiksi bergenre komedi. Gue senang Alina kini mulai sibuk datang ke seminar-seminar dimana ia diundang sebagai narasumbernya.
“Yang,gimana tadi gue di panggung? Kelihatan grogi ngga?”
“Dikit sih.. nanti juga lama-lama terbiasa.”
“Dede nangis ngga tadi waktu gue tinggal sebentar?”
“Ngga, dia asik main kok sama gue.”
“Alhamdulillah... minggu depan gue ngisi seminar lagi. Gue jadi makin semangat berkarya!”
“Syukur deh kalo gitu.”