Setiap manusia yang terlahir ke muka bumi, tentu punya sebuah nama yang memiliki arti berbeda-beda. Hampir seluruh orang tua di belahan bumi mana pun pasti berusaha memberikan nama terbaik untuk putra/i nya yang mayoritas terselip berbagai macam harapan di dalamnya, termasuk nama gue.
Kedua orang tua gue, memberikan gue nama ‘Bagus Putra Wijaya Kusuma Hadiningrat ’. Lima kata disatukan dalam satu nama manusia itu rasanya memang cukup berat. Gue sering banget kesulitan menuliskan nama itu terutama saat ujian sekolah, dimana teman-teman gue yang lain sudah mulai menjawab soal ujian, sedangkan gue masih sibuk memindai huruf dan melingkari satu per satu huruf tersebut di kertas.
Entah apa yang mendasari kedua orang tua gue memberikan gue nama sepanjang itu, selain sulit di eja, gue juga jadi punya banyak banget nama panggilan. Mulai dari bagus, gus, puput, njay, hadi, jaya, putra, bagus pw, dan masih banyak panggilan lainnya. Walaupun kebanyakan orang sih merasa cukup memanggil nama gue dengan kata paling pertamanya aja.
Dulu gue juga pernah cari tau tentang makna dari nama gue, dan wow gue terkejut! Masing-masing kata dari nama gue itu punya makna yang luar biasa. Yah mungkin kedua orang tua gue menaruh banyak harapan baik untuk diri gue. Positifnya sih gue merasa senang dikasih nama sedemikian rupa ini, gue berharap bisa menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan negara. Negatifnya.... gue jadi sering ragu, apa iya, gue udah jadi orang yang sesuai seperti makna dari nama itu sendiri?
Nyatanya, ngga semua yang terjadi dalam hidup gue adalah kejadian-kejadian menyenangkan. Malah kalo dihitung-hitung lebih banyak ngga enaknya daripada senangnya. Contohnya hari ini. Seorang mahasiswa semester 5 Fakultas Ilmu Seni, baru saja keluar dari ruang TU (Tata Usaha) dengan wajah muram, kepala menunduk, mata berkunang-kunang, bibir pecah-pecah dan kurang nafsu makan akibat kena damprat kepala TU yang terus menerus menagih uang semesteran.
‘Pokoknya, kalo kamu belum bisa bayar uang kuliah, kamu ngga bisa lanjut ke semester berikutnya!’
Kalimat itu masih terus terngiang-ngiang di kepala gue. Di ruang kelas, di lapangan kampus, di perpustakaan –ngga sih gue jarang ke perpus malah hehe-, di kantin, dan hampir di seluruh sudut penjuru kampus selalu terbayang wajah Ibu Kepala TU (Tata Usaha) yang puas mencaci maki gue karena lagi-lagi meminta keringanan untuk bayar biaya kuliah.