BUKAN MUSISI KALENG-KALENG

Erlina Ardiani
Chapter #2

Mimpi setinggi tiang provider internet

Gue bersemangat melangkahkan kaki keluar kantin, bergegas mencari teman kutu buku gue yang bernama Bowo. Dia ini satu-satunya arsip kelas dalam bentuk manusia. Kacamatanya tebal, buku catatannya paling lengkap, setiap masuk kelas dia selalu bawa gitar akustik tua warisan kakeknya di kampung. Impiannya saat ini adalah menjadi seorang composer ternama mengalahkan Erwin Gutawa, walaupun baca chord aja dia masih sering keliru. Mungkin dia ini cocoknya jadi anak kedokteran dibanding jadi anak seni musik, tapi yaudah ngga apa-apa, hargai aja usaha bapaknya yang sudah mengabdi untuk kampus ini sebagai anggota tim kebersihan. Di kampus gue, ada tradisi ‘jatah satu kursi’ untuk keluarga dari pekerja yang ada di kampus, mulai dari dosen, ibu kantin, sampai tim kebersihan. Keberuntungan Bowo ada disini, ‘takdir’ menuntunnya menempuh pendidikan seni musik.

Langkah gue sempat terhenti dengan satu bisikan mesra ditelinga gue, ‘Hey cah bagus, mbok dibayar dulu teh manisnya’. Gue menoleh ke arah belakang, sosok ibu kantin yang kental dengan logat medok jawanya tersenyum penuh makna mengingatkan gue bahwa tadi gue memesan segelas teh manis sebelum merenung dan hampir lupa membayarnya. Gue meraih sebuah dompet yang mendiami saku celana jeans sobek lalu membukanya. Kosong. Tersisa lembaran tiket bus umum yang tadi gue tumpangi menuju kampus. Ibu kantin pandai sekali membaca gerak-gerik gue yang mencurigakan, dengan segala kebaikan hatinya, ia menyuruh gue menutup dompet dan memasukannya kembali ke dalam saku celana. ‘Yowes, kasbon meneh yo. (Yaudah, kasbon lagi aja ya)’. Beliau pun pergi melanjutkan aktivitasnya memasak di dapur.

‘Matursuwun bu’e.’ (Terimakasih bu)

Percayalah, masih ada orang baik di dunia ini.

***

Bowo, oh bowo. Gue harus sesegera mungkin ketemu sama dia, karna dia lah satu-satunya harapan gue. Dia pasti masih menyimpan lembaran-lembaran kertas yang ada tanda tangan Pak Anang, Bapak Dosen Wali. Disebut dosen wali, bukan berarti beliau dosen yang menyukai band wali, melainkan dosen yang me-wali-kan dirinya untuk beberapa orang mahasiswa dalam urusan KRS (Kartu Rencana Studi). Di kampus gue, tanda tangan Pak Anang termasuk dalam kategori benda langka yang sebaiknya di museum kan, sebab tandatangan beliau sangat sulit didapatkan meskipun sudah dijampi-jampi dengan kembang 7 rupa.

Mata gue melirik ke salah satu meja di pelataran kampus. Disana, gue mellihat Bowo sedang duduk menyendiri sambil menggengam sebuah ponsel ditangannya. Gue curiga dengan apa yang sedang dilakukan Bowo disana, untuk itu.. gue berjalan mengendap-endap dari arah belakang tempat duduk Bowo. Kecurigaan gue terbukti. Ponsel yang ada ditangan Bowo, ternyata sedang digunakan untuk candid foto salah satu mahasiswi cantik yang tepat berada di depannya.

‘Woy!’

‘Eh ayam-ayam!’

Lihat selengkapnya