Gerutu langit pada bumi
Erangan awan seraya menghitam
Dan ikut dalam dua wajah
Isolasi alam tanpa kekangan
Cerahnya Langit
Aku mulai menyukai beberapa dentuman di atas atap. Entah kenapa, suara berisik itu menghangatkan juga menyadarkan telingaku yang mulai bising akibat suara-suara jahat jalanan. Setiap hari, hanya suara kendaraan. Seminggu sekali rel kereta di belakang rumahku akan bergetar menahan gerakkan kereta api yang menderu dengan kerasnya. Setidaknya, rintik hujan di atap dapat menenangkanku dari suara-suara itu.
Seandainya kawanku tahu, betapa bahagia dirinya bisa mendengar suara rintik hujan ini.
“Geri, bisa ambilkan payung sebentar, nak? Ibu mau beli bumbu dapur di warungnya Mbak Sum.” masa bodoh dengan semua suara di telingaku, suara ini adalah surga bagiku.
“Iyaa, bu.” Jawabku perlahan beranjak dari meja belajar. “Bu, bukannya langit masih mendung? Belum hujan.” tambah ku sambil memberikan payung berwarna biru.
“Kamu itu mana tahu tentang keadaan alam. Guruh adalah tanda hujan akan segera datang. Lagipula, hujan sudah turun rintik-rintik. Jadi, ibu bawa payung deh antisipasi biar gak kehujanan,” senyum tergurat di wajah ibuku.
“Ohh, gitu yaa, bu. Geri di rumah aja deh kalau gitu. Pengennya sih ikut ibu, nemenin belanja tapi enakkan di rumah. Takut basah nanti kena hujan. Hati-hati yaa, bu,”
“Iyaa” jawab ibuku sambil bergegas keluar rumah.
Bagaimana pun, bagiku hujan adalah suatu misteri masa lalu yang membawa kenangan yang suram. Saat itu langit nampak begitu cerah di pagi hari saat seisi rumah bersiap-siap untuk melakukan aktivitasnya masing-masing.
Ibu seperti biasa menyiapkan segala keperluan kami pagi ini. Menyiapkan sarapan, bekal makan siangku, segelas susu untukku, dan secangkir teh untuk ayah. Sambil menuruni tangga, aku sangat kagum dengan penampilan ayahku saat ini.
Ayah sudah siap dengan seragam lorengnya. Begitu gagahnya beliau dengan baret hijau dan beberapa pin yang menempel di dadanya serta pangkat dibagian leher berbentuk bunga dua buah. Tak jarang juga aku membayangkan badanku memakai pakaian yang sama dengan yang ayah pakai saat aku dewasa nanti. Pastinya akan sangat gagah dan berwibawa sekali. Aku bangga dengan ayahku.
“Eh, Geri! Ayo makan sini! Sini, sini duduk di samping ayah. Kamu mau makan nasi goreng atau roti saja?” ayah menawariku menu sarapan pagi yang terletak di atas meja makan tua berbentuk bulat ini.
“Isshh, ayah maahh. Geri kan sudah kelas dua belas sekarang. Jangan samain Geri sama anak kecil dong, yahh..” gerutuku dengan wajah sedikit mengerut.
“Kamu inii, kayak tidak tahu ayahmu saja. Kamu ini, anak satu-satunya dari ayah dan ibu. Jadi, bagi kami sudah kelas dua belas kah, udah kuliah kah, udah dapat kerja kah, ataupun sudah nikah sekalian, kamu masih tetap jadi bocah kecil kami,” sambil menggosokkan tangannya di kepalaku, ayah berkata dengan nada lembut kali ini. Aku jadi merasa bersalah dengan apa yang aku ucapkan tadi.
Hanya senyum yang aku berikan untuk ucapan ayah. Ibu yang dari tadi di dapur perlahan menuju ke arah meja makan sambil membawa bekal untukku hari ini. Butuh sepuluh menit bagi kami sekeluarga untuk menyelesaikan sarapan pagi.