Surya terbangun dari tidurnya, dia melihat ke sampingnya dan menemukan kalau tempat itu sudah kosong. Dia sudah tahu kebiasaan istrinya yang sering bangun pagi untuk menyiapkan sarapan atau bekal untuk anaknya atau untuk dirinya saat ada di rumah seperti ini. Surya melihat ke jam yang ada di atas TV dalam kamarnya, sudah menunjukkan jam sembilan. Dia harus segera bangun sebelum istrinya datang dan mengomelinya.
Surya masih terasa di awang-awang karena sebenarnya semalam dia baru tidur jam dua karena dioenuhi pikiran akan pertanyaan anaknya, “Akhirnya bangun juga kamu, itu kopinya sudah aku siapin di meja. Kalau emang kamu rasa udah dingin banget bawa ke sini aja biar aku panasin lagi,” sambut istrinya yang masih berkutat di dapur.
“Terima kasih, sayang.” Surya tersenyum lalu memutuskan untuk duduk di halaman belakang untuk menikmati kopinya.
Sesekali Surya melihat kea rah dapur, melihat istrinya yang merapikan dapur ketika hampir selesai masak. Demi menjaga keluarganya dari dunia luar agar mereka tidak tahu tentang pekerjaan Surya, Tacita yang dulunya hidup sebagai tuan putri berubah menjadi seseorang yang harus bisa melakukan pekerjaan rumah sendiri. Si putri yang awalnya dilayani oleh pembantu mengurus dan bisa menyediakan seluruh keperluannya sekarang menjadi seseorang yang menyiapkan kebutuhan dirinya dan anaknya.
Surya bukan suami yang jahat, dia juga bukan orang yang tidak bisa memperkerjakan orang lain untuk membantu istrinya. Bahkan dia sudah menawari istrinya berkali-kali saking tidak maunya Surya kalau istrinya kecapekan mengurus dirinya dan anaknya. Tapi yang seperti dikatakan Surya tadi kalau Tacita memilih bersusah-susah daripada identitas suaminya sebagai artis terungkap.
Surya tersadar dari lamunannya ketika mendapati istrinya juga sudah duduk di sampingnya menyesap teh miliknya, “Maureen mana, sayang?” tanya Surya ketika menyadari rumahnya terasa sepi tanpa kehadiran anaknya itu.
“Tadi dijemput sama temannya katanya janjian mau pergi renang.” Surya mengangguk, dia memang tahu kalau anaknya biasanya pergi bersama temannya untuk berenang.
Suasana antara mereka menjadi sepi kembali, “Aku berantem sama Maureen dan sepertinya dia memulai perang dingin sama aku,” cerita Tacita.
Surya menatap wajah istrinya dan tergambar wajah kesedihan di sana, “Kenapa kalian terus menebuh genderang perang akhir-akhir ini?” guyon Surya untuk mencarikan suasana.
Tacita memukul pundak suaminya karena kesal, “Aku lagi nggak becanda loh!” Meski begitu, senyum tergambar di wajah istrinya, Surya berhasil membuat kesedihan sedikit berkurang dari wajah cantik istrinya.
“Ta, kamu tahu kalau Maureen bukan bayi lagi, dia bukan anak kecil yang akan selalu memeluk kakimu agar kau tidak ke mana-mana. Dia ada di fase ingin tahu, merasa benar dan memberontak dan di umurnya yang sekarang itu sangat lumrah,” jelas Surya lembut.
“Tidak masalah kalau dia ingin tahu tapi seharusnya setelah dia tahu, dia tidak merasa diri benar dan memberontak. Aku adalah ibunya dan di umurnya yang seperti itu, aku masih punya kewajiban untuk menunjukkan mana yang terbaik buat dia. Tapi dia malah menolak untuk mengerti dan mengatakan kalau semua yang aku perbuat selama ini adalah salah!” Tacita mulai berapi-api.
“Karena kamu tidak memberitahukan dengan jelas kenapa langkah yang kamu ambil ini baik untuk semua orang terutama baik untuk dia.” Surya berusaha menjelaskan terlebih yang dia ajak berdebat ini adalah istrinya yang memang keras kepala.
“Apa kurang jelas alasan aku selama ini menyembunyikan identitas kamu supaya dia tidak terikut dalam masalah? Menjauhkan dia dari pekerjaan kamu dan masalah kamu apabila mereka datang lalu mengusik kehidpan pribadi kamu yang mengkait-kaitkan dia?!” sebal Tacita.
Surya menghembuskan napas untuk mengkontrol emosinya, “Bagaimana kalau hal itu memang tidak mengusik hidupnya? Bagaimana kalau dia merasa sudah siap untuk menerima konsekuensi menjadi anakku?”
“Dia masih kecil, dia pikir semua akan semudah itu padahal ini sama sekali tidak semudah itu!” Lihat, istrinya memang keras kepala bukan?