Sehelai Jiwa Sepi

Suyat Aslah
Chapter #1

DAERAH IMAJINASI

Inilah kisah membosankan dariku. Diam adalah kesibukanku. Sejak kecil sehelai jiwaku selalu terikat dengan ritual diam dalam kesendirian. Aku bukanlah tualang ulung yang suka merayapi permukaan bumi. Lebih suka menjelajah dalam ruang-ruang di khayali. Menyelam penuh di kedalaman perasaan yang berlarut dengan sepi. Menelusuri gelapnya telaga imajinasi. Menengoki celah-celah purba yang bisa membawaku menembus masa yang begitu jauh di belakang, bernama masa lalu. Seperti ada jejak yang lupa untuk kutinggalkan di masa itu. Tapi masa lalu hanyalah sebuah masa, bukanlah ruang nyata yang bisa kudatangi setiap waktu. Tak beralamat. Dan seakan hilang tanpa kesan.

Sekali lagi aku memutar-mutar otakku. Mengotak-ngotak pilihan kata. Untuk diotak-atik menjadi rangkaian kata. Kalimat yang akan kubariskan sebagai pengantar kisah pendek. Berulang-ulang aku mengetuk-ngetuk kepalaku. Berharap ada gagasan yang keluar menyapaku.

Di sinilah aku. Di sudut ruang kamarku. Tempatku berkubang dalam kesepian. Bersama imajinasi yang terkadang membuatku senyum sendiri. Tapi bukan itu fokusku seharusnya. Aku memikirkan dunia yang lain. Dunia yang akan kuciptakan sendiri. Meski juga sama terbang dalam imajinasi. Tapi tak hanya sekedar berimajinasi. Kulukiskan juga setiap peristiwa yang terangkai di kepalaku, ke dalam bahasa yang akan diucapkan pena di jemariku. Tapi sering kali pikiranku memikirkan sesuatu yang hanya menghabiskan waktuku. Sering kali jemariku ragu menggoreskan kata pertama yang akan kujadikan awal sebuah dunia imajiner ciptaanku beserta tokoh-tokoh yang menghuninya. Bahkan hanya terpaku pada penciptaan nama, yang takkan selesai dalam hitungan jam.

Kucoba menangkap wajah masa lalu. Kelabu dan hampir tak teraba ingatan. Masa yang samar, gelap dan hampir tak terlihat. Laksana mimpi yang tak mudah dijaring kembali saat terjaga. Bahkan setelah berkali-kali mengetuk dinding ingatan. Sekian langkahku di jalanan bumi seperti cerita tak berjejak. Memaksaku melihat dari sisi paling rahasia sekaligus menyakitkan dalam diri. Dari relung terdalam batin dan pikiranku. Ruang bagi banyak lintasan memori yang terlalu sulit ditangkap dan dibahasakan dengan kata-kata. Atau melukiskannya melalui simbol-simbol abjad di atas kertas yang benar-benar kosong. Inilah saat di mana keberanianku diuji. Menghadapi selembar kertas yang masih kosong memang butuh keberanian. Terkadang aku malah mati lebih dulu.

Sampai sekarang aku tak tahu alasannya, kenapa aku suka membongkari relung hati dan pikiranku. Mengais-ngais apa yang ada di sana. Dan selalu ada hasratku menyampaikannya pada semua, tanpa suara. Mungkin aku tak suka bersuara. Lebih suka berbicara melalui bahasa yang diucapkan pena.

“Eits! pagi-pagi kok ngalamun.”

Aku terlonjak.

“Masih nyari si gagasan,” jawabku kuikuti senyum terbaikku.

“Emang kalo nyari gagasan harus senyum-senyum sendiri gitu?”

“Dalam pencarianku aku sempat bertemu dengan Putri Malu. Tak ada salahnya jika aku tersenyum padanya.”

“Orang kah? Atau bidadari yang terjengkang dari kursi singgahnya dan jatuh ke pekarangan bumi?”

“Terkadang dia benar-benar manusia, tetapi kadang dia juga menjelma sesosok maya yang menggelayut di kepalaku dengan manja.”

“Oho! Rupanya adikku ini sudah terjebak dalam imajinasi. Coba lihat di kolong atap atau di bawah bantalmu hwahaha…,” katanya diikuti tawa lebarnya sambil pergi ngeloyor begitu saja ke kamarnya.

“Mungkin ada benarnya, bahkan butiran debu bisa jadi inspirasi sebuah karya,” kataku meski dia sudah pergi.

Lihat selengkapnya