Sehelai Jiwa Sepi

Suyat Aslah
Chapter #2

BAYANGAN MASA DEPAN

Haruskah aku menyerah pada takdir? Semua terasa begitu berat tuk kulangkahi. Bahkan ada banyak hal yang tak kumengerti dalam hidup ini. Kehidupan yang sering kali membuatku tersingkir tak berarti. Mata waktu perlahan mengiris hidupku. Kini ku bersama kegagalan yang berganti dengan kegagalan berkali-kali. Dan terinjak-injak masa lalu yang tak pernah berhenti. Sementara hidupku terus berjalan. Aku tak begitu yakin jika imajinasi bisa mengubah takdirku.

Mengerikan! Aku tak tahu yang terjadi di masa depan. Jika aku terus diam dalam kesibukanku ini, memintal waktu tanpa sebuah hal yang berarti, memiliki resiko besar tertimbun tubuh waktu yang makin menggulung. Terkadang aku berpikir apa yang harus kulakukan? Haruskah aku lakukan ini? Apa yang terjadi jika aku melakukannya? Atau lebih baik tak kulakukan saja? Dan itu hanya satu dari sekian hal yang banyak membuat keragu-raguan dalam diriku.

Suara mesin jahit terdengar sengit. Seperti bertubi-tubi menusuki batin perasaan dan jantungku. Membuat nyeri dan pedih dalam dada ringkih. Aku merintih dalam ruang paling dalam dan tertutup. Yang mampu meredam gema suara bahkan teriakanku. Hingga tak ada yang bisa mendengarnya kecuali diriku dan Tuhan. Meski bukan aku yang sedang menjinakkan mesin bergigi jarum itu. Tapi Mbak Ayu, dia yang menulangpunggungi keluarga sekarang.

Di umurku yang sebesar ini. Satu tahun lebih setelah lulus SMA. Belum ada hal penting yang telah kubuat. Masih menganggur. Aku pun malu. Malu pada keluarga, pada tetangga. Tak seperti teman sejawat atau teman sekolahku. Mereka dengan tualangnya sendiri. Dengan hidupnya masing-masing. Bahkan ada yang pergi jauh dari rumah, bekerja ke negeri orang. Ada yang kuliah, belajar di pondok pesantren dan, ada juga yang menikah. Aku pun dengan hidupku sendiri. Tapi tak seperti ini yang kuingini.

***

Kukayuh sepedaku lebih cepat. Aku ingin urusan ini cepat selesai lalu, langsung pulang. Aku memang seperti ini. Pemalu dan selalu terlihat bodoh. Hampir tak pernah keluar rumah. Paling jika ada keperluan seperti ini, mengantarkan pakaian jadi. Atau ada keperluan yang penting. Baru aku keluar rumah. Setelah selesai, langsung pulang. Rumah adalah tempat yang membuatku lebih tenang, sekaligus penjara untukku. Maka sudah pasti aku tak memiliki teman.

Gemeretak rantai seakan berbisik di telingaku, akan sebuah kehidupan yang harus terus kukayuh meski berisik dunia membicarakanku. Meski mulut mereka membuka dan mata mereka berbicara dengan bahasanya. Tapi inilah aku, hidupku. Aku pun punya mimpi yang perlahan kudaki yang tak banyak orang tahu itu. Kabarnya hidup berawal dari mimpi. Itu pijakan pertama. Ya, aku hanya baru bermimpi dengan langkah kecil. Belum begitu berarti. Inilah yang bisa kulakukan saat ini.

Akhirnya sampai juga di rumah Lik Santi. Rumah yang tak terlalu besar, namun sudah rapi. Berdinding tembok dengan warna hijau pupus yang mendominasi tubuh bangunan. Beragam tanaman bebungaan tumbuh subur dalam pot yang tertata artistik di depan rumah. Belum lagi pohon mangga Arum Manis yang teramat rindang dan berbuah lebat di depan rumah. Terasa sejuk dan, membuat liurku semakin membasahi lidah yang mencecap-cecap kecut. Aku yakin banyak juga kampret yang tergiur saat malam. Mengepak-ngepak dalam pekat malam. Satu-satunya mamalia yang bisa terbang. Selaput tipis yang terdapat di antara tulang lengannya membuatnya bisa terbang. Selain itu kemampuan ekolokasinya mendeteksi wilayah sekitar meski dalam gelap yang gulita sekalipun tanpa akan menabrak apa pun. Dia mampu memperkirakan jarak rintangan atau makanan. Ada juga kampret yang melempari buah mangga dengan batu, atau menggunakan galah untuk mendapatkan buah yang diincarnya. Kalo yang ini biasanya mereka bergerombol, berjalan dengan dua kaki dan tak punya kemampuan ekolokasi hehe.

Kusandarkan sepedaku pada pohon mangga. Mataku masih berlarian kesana-kemari, menangkapi mangga-mangga ranum.

“Mau nganter baju ya, Pi?” tanya sesosok perempuan yang tanpa kutahu telah berdiri di depan pintu. Sedikit mengejutkanku. Aku berusaha untuk menguasai diri.

“Iya, baru selesai tadi, Lik,” jawabku dengan sedikit menunduk. Untuk menghindari tatapan matanya. Aku merasa lemah saat bersitatap dengan siapa pun.

“Nggak apa-apa. Nggak buat buru-buru juga kok. Makasih ya. Eh tunggu-tunggu.”

“Udah dibayar kan, Lik.”

“Bukan itu, iya, kemarin udah bayar ke Mbakmu, tunggu dulu ya.” Aku hanya mengangguk segan dan sedikit kutarik senyum.

Lik Santi sudah jadi langganan menjahit sejak dulu. Sejak sebelum Mbak Ayu menggantikan Ibu. Sebenarnya ada beberapa yang lebih lama lagi dari Lik Santi. Wak Sarikem salah satunya. Bedanya dengan Lik Santi, Wak Sarikem lebih berani memprotes hasil jahitan jika tak sesuai yang diharapkan. Dengan mudahnya menumpahkan kata-kata pedas ke wajah Ibu. Dan biasanya Ibu hanya bisa diam tak banyak bicara. Bahkan saat bicara pun tak akan mudah dimengerti dan hanya akan menguap sia-sia di udara.

***

Lihat selengkapnya