Sehelai Jiwa Sepi

Suyat Aslah
Chapter #3

TENTANG IBU DAN BAPAKKU

Tak semua orang mengerti bahasa Ibuku. Bahasa hebat yang menggabungkan antara gerak bibir dan bahasa tubuh. Suara tak lebih dominan dari keduanya. Bahasa yang tak mudah dimengerti orang-orang. Hanya orang-orang tertentu saja yang paham ucapan Ibu. Aku dan Mbak Ayu misalnya. Kita sudah tahu di mana posisi kita harus bicara, tempat terbaik untuk bicara, juga cara bicara kita dengan Ibu.

Bukan kekurangan seperti yang orang-orang bilang. Kekurangan dan kelebihan adalah sesuatu yang terberi dari Sang Maha Tunggal. Karena kita manusia. Ibuku seorang yang istimewa aku bilang.

Supriyatno namaku. Tapi tak semua orang tahu nama lengkapku atau sering kali salah sebut, Supriyanto misalnya. Mungkin karena nama itu mirip dan sulit diucapkan, atau tak biasa di telinga. Dan mungkin alasan paling logis karena aku tak begitu eksis di lingkunganku. Aku lebih banyak dikenal dengan panggilan Upi, nama panggilan waktu masih kecil. Terkadang ada yang memplesetkannya, bukan Upi, tapi Upil.

Aku adalah anak kedua yang lahir dari seorang Ibu penderita tuna rungu wicara tepat di hari kematian Bapakku. Entah bagaimana perasaan Ibu saat itu. Kelahiran dan kematian di hari yang sama. Dua peristiwa yang takkan menunggu waktu. Dan mewakili dua penampilan rasa. Bisa kupastikan Ibu tak baik-baik saja saat itu. Aku yakin hampir semua kaum Ibu jika ada posisi seperti Ibuku, dia takkan baik-baik saja.

Jika keadaannya seperti itu, tapi mampu membesarkan kedua anaknya. Bukankah itu suatu keistimewaan?

            “A-pa ci-ta-ci-ta-mu, Pi?” Tanya Ibu suatu kali dengan ucapan yang dibantu gerak tangannya. Kala itu aku masih kelas 4 MI.

“Hm, jadi guru,” jawabku ragu. Ibu mendekatkan telinganya, mungkin kataku terlalu lirih.

“Jadi guru, Bu,” ucapku lebih tegas. Kulihat Ibu tersenyum mengembang.

Sesungguhnya aku belum punya cita-cita, belum memikirkanya. ’Jadi guru’ hanyalah jawaban atas keterkejutanku dari pertanyaan yang diajukkan Ibu. Kuambil saja dari yang terdekat bagi seorang murid, yaitu guru. Mbak pernah cerita, bahwa Bapak dulu seorang guru. Guru yang mengajar di Madrasah Ibtidaiyah yang aku duduki. Sosok yang belum pernah kulihat sejak aku lahir. Mungkin bisa dikata hidupku kering kasih sayang seorang Bapak. Mungkin itu yang membuat perasaan Ibu tergugah. Soal cita-cita itu, hati kecilku belum sepenuhnya menyimpan mimpi itu.

“Ba-pak-mu du-lu se-o-rang gu-ru, ka-mu ta-hu gu-ru a-pa?” kata Ibu mengusap pipiku pelan, masih tersenyum.

“Mengajar apa, Bu?” tanyaku mengimbangi, meski aku sudah tahu dari Mbak Ayu

“Ba-ha-sa In-do-ne-sia.”

Aku takkan pernah bisa mengeja wajah Bapak. Ibu bilang Bapak mirip denganku, terutama rambut dan bentuk wajahku. Tentu aku hanya bisa membayangkannya. Bapak juga seorang penikmat sastra. Ada banyak buku-buku Bapak yang disimpan Ibu dengan baik. Sejumlah novel juga buku antologi cerpen dan puisi. Aku punya kesamaan dengan Bapak, aku suka membaca. Dari membaca aku mulai menyukai hal-hal yang sehubungan dengan aksara. Dan aksara telah menyihirku jadi suka menulis.

Kupikir sudah kubaca semua buku-buku Bapak. Tanpa satu buku pun yang terlewat!. Tapi menurut Ibu belum. Membuatku ingin tahu saja.

Dengan segera Ibu membuka pintu lemari. Bahkan aku biasa membuka pintu itu, karena bajuku pun disimpan di lemari yang sama dengan baju Ibu. Tapi rasanya ada desiran panjang di dalamnya dada. Rasa penasaran yang tak bisa kutahan. Dan lebih hebat rasanya saat Ibu mencoba menyeruak tumpukan pakaian yang saling himpit dan bertindihan. Terletak di rak paling atas memang, aku belum cukup tinggi menjangkaunya. Diraihnya sebuah wadah logam berbentuk oval yang tertutup rapat. Setelah Ibu mendekat, Ibu menunjukkan wadah itu. Ada gambar hampir pudar seorang perempuan Jawa yang seolah tersenyum padaku, lengkap dengan kalimat persuasif sebuah produk. Layak kuduga itu bekas wadah bedak wajah. Keyakinanku, yang di dalam bukanlah bedak dan spons untuk bersolek. Melainkan rahasia besar yang disimpan rapat-rapat oleh Ibu.

“Bu-ka,” kata Ibu sambil menyerahkannya padaku.

Perlu sedikit tenaga untuk membuka tutupnya. Mungkin sudah tertutup lama dan tak pernah dibuka. Tapi akhirnya terbuka juga setelah hampir kukerahkan seluruh tenaga dalamku. Kutemukan selembar kertas yang terlipat dan sebuah gelang dari banyak bulatan kayu yang disatukan dengan benang berbentuk lilitan, dalam kondisi yang sudah tak lagi baik. Tulisan yang terlihat mulai pudar, kertas yang terlumat usia juga gelang yang tak lagi terlihat utuh. Ada 21 butiran kayu yang membentuk gelang, cukup longgar jika melingkar di tangan kecilku.

“Pas…,” kata Ibu mengikatkannya dua kali putaran di pergelangan kiriku, “Ba-pak du-lu su-ka pa-kai ge-lang ini,” kata Ibu lagi. Aku pun suka memakainya. Beulang-ulang aku membolak balikkan tanganku, ada sensasi yang langka, ada rasa rinduku pada ayah. Sosok yang tak pernah kutahu wajahnya. Hanya kata-kata yang menggambarkannya.

Lihat selengkapnya