Ah! Masa itu. Hampir aku tak mencium aroma kegembiraan yang purba itu. Bicara masa lalu, maka sama seperti awal mula diriku. Ribuan scene kisah telah tersimpan di memori. Bahkan jika aku skenariokan kembali kisah lalu itu dalam otakku. Mungkin takkan kutemukan scene berkarat yang membuatku merasa berarti. Justru ada perasaan yang selalu mengikutiku sejak dulu. Melemahkanku, menghancurkan kepercayadirianku. Bahkan menciptakan ketakutan dalam diri yang membuatku ragu melangkah maju, diam di tempat bahkan mundur. Entah sejak kapan aku mengenal perasaan itu. Mungkin memang sejak kecil. Sejak aku jadi anak yang sangat lebih diam dari semua temanku. Sejak itu aku merasa jadi anak terbodoh dan buruk di mata orang. Lebih suka bersendiri. Banyak orang melabeli diriku sombong dan tak suka berteman. Barangkali memang berawal sejak aku tahu, status sebagai anak yang yang diragukan orang lain.
Ingin sekali aku menyampaikan pemahamanku tentang kesombongan dan pemalu. Tapi keyakinanku, mereka takkan memahami itu. Di sisi lain tak ada keberanian dalam diriku. Aku tak pandai mengucap kata, akan sangat rumit jika mereka menelaah kata-kataku. Aku merasa juga, mereka sudah terikat penafsiran tunggal mereka sendiri, bahwa aku sombong bahkan anti sosial. Kesombongan melibatkan perasaan memegahkan diri yang berlebih, juga keinganan yang terlalu besar untuk menunjukkan kelebihan ke semua-mua. Sementara pemalu, justru karena ada sebuah ketakutan berlebih yang hadir tanpa keinginan dalam diri, yang membuatnya tak ingin menunjukkan dirinya di hadapan semua, cenderung menarik diri dari kehidupan. Pemahaman yang sederhana bukan? Terkadang hal sangat sederhana tak masuk hitungan, akan dibuang tanpa timbangan lebih dulu.
***
Kadang kala aku jadi suka memaki dan membodohkan diri sendiri. Mengacak-acak rambut sendiri, bahkan menampari wajah sendiri saat sebuah tindakan yang membuatku sesal sendiri. Semacam kebodohan yang kuperbuat, karena tak bisa momong tubuhku sendiri. Kabarnya orang hidup harus bisa mengasuh diri sendiri. Hidup seakan hanya berisikan tekanan yang hampir membuatku gila.
Aku makin yakin, mungkin semua itu juga melibatkan sebuah unsur yang kurang di keluargaku. Kasih sayang seorang Bapak. Selama ini hidupku kering kasih sayang itu. Bahkan kehadiran sosok perkasa, Mbak Ayu, tak membuatku kuat menatap hidup yang begitu banyak hal tak terduga di depan mata. Ketidakpercayadirianku makin menjadi.
Entah kenapa ingatanku selalu melayang ke daerah imajinasi saat kesepian mendekatiku. Seakan berinteraksi dengan diri sendiri adalah hal menyenangkan. Sesekali kuberanikan diri untuk bergaul dengan teman di lingkunganku. Mungkin sebuah kewajaran, jika aku iri pada sahabat di lingkunganku. Banyak sahabat, mereka penggembira. Adakalanya kita kompak dalam sebuah hal, tapi sudah pasti kita pernah berkenalan dengan permusuhan. Dan saat itu terjadi, aku suka berandai jika aku punya Bapak, dia pasti akan melindungiku, memapahku saat aku jatuh. Menemaniku dalam hari-hari yang tak terbayangkan kebahagiaannya itu.
Umur tujuh tahun pertama kali aku mencicipi bangku sekolah. Itu berarti dunia baru untukku, juga teman pergaulan yang masih asing, meski ada beberapa yang aku kenal karena bertetanggaan. Tetap perlu waktu untuk beradaptasi. Aku termasuk tipe anak yang susah bergaul. Di antara teman-temanku, aku merasa jadi anak paling lemah. Lemah fisik, lemah mental. Seperti saat olahraga lari misalnya, aku pasti jadi yang terbelakang. Itu sebabnya aku tak suka olahraga.
Semua temanku suka bertualang. Aku cuma bisa mengekor saja. Pada saat jam istirahat, kebiasaan kita adalah main ke tempat yang tak biasa. Ke sawah, pekarangan warga, masuk ke empang yang mengering, rumah kosong atau tempat pemakaman.