Aku tak tahu dari mana awalnya. Bahkan kesadaran tak mampu mendeteksi sejak kapan kehadirannya. Dia ada dalam ruang hati yang teramat luas, hingga ke dalam cerukan luka sekalipun. Bak embusan angin yang merambah mesra jiwa penuh gairah. Merambatkan desiran aneh di dada sunyi, di ruang yang hanya terpahami oleh hati.
Masih dengan kebodohan yang mengikuti. Sementara takdir telah membawaku pada waktu yang cukup dewasa, seharusnya. Namun tidak begitu kurasa.
Masuk SMA adalah impianku. Tak masalah jika di sekolah swasta dan tak begitu terpandang di wilayahku. Siswa yang tak begitu banyak, hanya ada 36 siswa baru. Itu pun akan dipecah lagi jadi dua saat kelas dua, IPA dan IPS. Keadaan ekonomi jadi alasan. Selain itu ada kebijakan biaya dari sekolah jika lulusan SLTP satu yayasan. Oleh karena itu, banyak dari temanku yang satu yayasan, rata-rata dari kalangan ekonomi zona bawah.
Suasananya juga biasa. Seperti tiga tahun sebelumnya. Itu karena sekolah SMA-ku berada dalam satu komplek dengan SMP-ku sebelumnya. Bersebelahan, bahkan ada salah satu gedung yang menyatu. Namun banyak teman SMP-ku yang enggan melanjutkan ke sini, lebih memilih Sekolah Kejuruan yang lebih mudah mendapat kerja katanya. Ada juga alasan lain ingin ganti suasana.
Kebanyakan temanku dari sekolah lain, MTS, yang juga satu Yayasan. Sedikit percaya diri di awal saat beradaptasi dengan orang-orang baru, karena di sini aku yang lebih tahu wilayah. Tapi pertemanan sering menyuguhkan hal rumit. Aku jadi sosok paling mudah terlupakan.
Meski sudah terbiasa hidup tanpa teman. Seberapa pun aku berusaha menikmati kesendirianku ini (pada dasarnya aku menyukai sepi), tapi aku bukanlah anti sosial yang orang lain labeli padaku. Bukan ingin menjauh atau menarik diri dari persahabatan. Aku hanya merasa lebih tenang saat sendiri. Aku merasa lebih kuat saat sendiri. Layaknya pengisian daya bagi jiwa yang lemah. Tapi aku masih tetap butuh sahabat.
Aku selalu merasa jiwaku lemah saat berada di antara orang-orang. Pun saat pelajaran Aku tak seaktif yang lain. Hanya lebih banyak mendengar dan memperhatikan. Namun semua temanku menganggapku pandai. Sementara aku masih menganggap diriku orang terbodoh di dunia.
Entah kusadari atau tidak, ada seseorang yang diam-diam kuperhatikan lakunya. Hingga hal remeh-temeh sekalipun darinya. Sangat purnama pendaran matanya. Tujuh mentari tersembunyi di matanya. Ada sensasi tersendiri yang belum pernah kurasakan sebelumnya saat tatapan kita bertumbukkan. Dia adalah Aisyah. Perempuan berkulit sawo matang.
Ah, mungkin perasaan baru itu telah merasukiku. Menguasaiku perlahan. Sesuatu yang begitu cepat berubah. Kadang menjelma rasa sakit saat melihat sesuatu yang tak sesuai pinta hati. Seperti saat dia memandangi penuh arti laki-laki yang suka bernyanyi di dalam kelas, Anton. Tatapan yang menyiratkan rasa dari dalam jiwa. Sering juga aku menyaksikan tatapan mereka bertumbukkan. Seakan matanya berbicara dengan bahasanya. Pikirku, Anton pun punya rasa yang sama.
Ada yang salah dalam diriku jika aku membenci Aisyah hanya karena melihatnya menatap Anton seperti itu. Aku masih bukan siapa-siapa, hanya pecundang yang selalu bersembunyi dalam dekap sepi. Meski kadang rasa benci pernah menyelinap dalam hati, kucoba menolaknya habis-habisan. Hanya bisa diam menahan dan berusaha bertahan.
Rasa itu sungguh sialan, membawaku pada banyak ke jalan luka, tapi kurasakan juga gairah maha sensasional yang belum pernah aku rasa sebelumnya. Tiba tanpa kuminta, menyapa pada seseorang yang tak pernah aku memilihnya.
Sementara waktu begitu cepat berlalu. Tak terasa sudah hampir naik kelas dua. Satu tahun yang spesial. Berkenalan dengan teman baru dan rasa baru yang sangat spesial.
***
Suaranya memang bagus saat bernyanyi. Sesuatu yang tak bisa kulakukan. Kadang aku berpikir, mungkinkah banyak perempuan yang tertarik pada laki-laki yang ekspresif dan mudah bergaul? Hingga ada banyak interaksi di sana yang bisa mempengaruhi perasaan seseorang?. Lalu bagaimana dengan diriku yang selalu menarik diri dari pergaulan, yang hanya bisa diam dan memendam sesuatu rapat dan dalam termasuk dalam hal perasaan. Aku merasa jadi sosok paling terlupakan oleh perempuan, bahkan oleh Aisyah.
Aku berusaha menolak sementara perasaan itu. Ini bukan waktunya terjebak cinta. Bukan tempat menimba cinta yang begitu memabukkan, hingga aku lupa tujuan awalku bersekolah. Dengan mimpi yang kubawa dari rumah. Tapi belakangan aku tak yakin. Aku kesulitan mendapat nilai terbaikku. Sepertinya rasa terbaruku itu telah mengambil fokusku dalam belajar.
Tapi keadaan seolah tak mau berdamai denganku. Sering kali adegan mereka berdua di hadapanku membuat jantungku berdenyar-denyar dengan ritme tak jelas. Anton yang tengah asyik bernyanyi di depan kelas sambil menulis sesuatu yang tak jelas, Aisyah mendekatinya dan ikut menggambar sesuatu. Gambar yang mudah aku kenali meski telihat belum sempurna. Gambar hati yang berukuran besar. Mereka bersitatap penuh arti, Lalu bercanda, Anton menghapus gambar hati itu dengan tangannya lalu mengoleskannya sedikit ke wajah Aisyah. Aisyah membalasnya dengan perlakuan yang sama. Mereka larut dalam tawa, aku terbenam diam dalam luka.
Aku tak tahu anggapan setiap orang tentang diriku. Banyak orang menganggapku sombong. Banyak juga yang menilaiku lugu dan tak punya perasaan istimewa pada perempuan. Setidaknya aku pernah merasa diragukan kenormalanku.
“Apa kau punya rasa suka pada perempuan?” Pertanyaan itu suatu kali melesat dari mulut Anton. Menusuk langsung ke ulu hatiku. Sejumlah tawa meledak dalam kelas saat pertanyaan itu terlontar padaku. Agus yang paling keras sambil mendekat ke arahku lalu menepuki bahuku, “Punya nggak?!” Tanya Agus mengulangi pertanyaan Anton dengan lebih keras dan diarahkan ke telingaku. Agus adalah teman satu kelasku yang paling sering merundungku. Suka memperlakukanku layaknya pecundang kalah perang.
Itu adalah pertanyaan yang kupahami sebagai anggapannya bahwa aku tak seperti layaknya laki-laki normal. Aku tak tahu, mungkin juga tak hanya dia yang punya pertanyaan seperti itu. Lebih-lebih yang menanyakan itu adalah Anton. Sosok yang selalu menyulut suluh di hati saat berdekat-dekat dengan Aisyah. Aisyah pun tahu saat partanyaan itu sampai di mukaku. Dan hanya menunjukkan wajah yang nyaris tanpa ekspresi khusus, “Pertanyaan macam apa itu?” ucapnya dengan detonasi yang di buat-buat. Tapi entah kenapa aku tak merasa dia tak sedang membelaku. Bahkan tatapannya terus mengarah pada Anton, dan ekspresinya pun perlahan berubah, memperhatikan Anton yang tertawa dengan penuh perasaan. Kali ini aku terluka dua kali, tanpa ada yang mengerti.
Namun rasa itu terus ada meski hatiku koyak berkali-kali. Semua tak pernah tahu, bahkan aku punya rasa itu. Tapi semua meragukan itu tercipta. Diamku adalah tempat paling tersembunyi, menyimpan rasa itu dalam zenith sepi.
Saat tawa mereka mulai mengering. Bu Ninik, guru Matematika memasuki kelas, diikuti sosok berseragam batik dengan corak berbeda. Agak asing bagiku, tapi wajahnya sedikit membayang di ingatan. Kucoba menerka-nerka. Namun tak bisa.