Salahkah aku jika diam-diam merinduimu, Aisyah? Semua yang meliputimu membuatku kepayang. Dan yang paling membuatku mabuk adalah tatapanmu. Tergambar jelas di matamu, tatapan teduh penuh pesona magis yang mampu menembus halus mataku. Dari tatapan teduh itu keluar daya yang mampu melemahkan mataku untuk bertahan menatapmu lebih lama. Tak hanya itu, aku juga suka ayunan langkahmu. Langkah anggun yang juga menggambarkan ketegaran dan keberanianmu. Aku ingat saat kau tampil sebagai pemimpin barisan dalam sebuah kegiatan kepramukaan. Terlihat tangguh namun tak memudarkan kejelitaanmu. Serupa kejora yang tetap dengan sinarnya meski sekelilingmu haus cahaya. Indah dan begitu purnama. Memang, aku selalu mengamati segala lakumu. Terkadang aku salah tingkah saat kau membalas tiba-tiba tatapanku dengan tatapan entah. Inilah takdir temanmu, suka bersembunyi dalam dekap sepi. Tapi ada saatnya aku punya rasa benci padamu, kebencian yang tak pernah kupahami bagaimana itu tercipta.
Dingin. Itulah diriku. Tak ada yang bisa menafsirkan siapa dan bagaimana aku seutuhnya. Mataku seperti melihat kosong. Namun sesungguhnya aku sedang memperhatikan, bahkan bicara banyak hal dalam setiap tatapanku. Mulutku memang diam, namun semua tak pernah tahu ada banyak potongan kata yang memenuhi mulutku. Apa kau juga sama seperti mereka yang menganggapku lemah? Semua tak pernah tahu bahwa jiwa pemberontak ada dalam diriku. Diam-diam kusimpan bara yang bisa membakar habis siapa pun. Saat pertanyaan atas nama keingintahuan telontar padaku, tentang cinta yang diragukan aku memilikinya. Diam adalah jawabanku. Bagiku itu adalah pertanyaan yang mengusikku. Bahkan mungkin anggapan tersirat yang dilontarkan secara halus akan ketidaknormalanku. Segila itukah aku di mata semua?
Pertanyaan itu cukup melukaiku. Apalagi dalam penerjemahan bahasa matamu, Aisyah, kau punya perasaan istimewa padanya, begitu pun dia. Kau juga pernah memberi tanda selain dari matamu. Kau pernah berucap dengan bahasa tak langsung, ucapan yang butuh penerjemahan dan penafsiran. Aku tak mengira perempuan secerdas dirimu senekat itu. Membuka perasaanmu di depan semua. Entah kenapa juga aku yakin itu bukan sebuah percandaan, di saat belum ada hubungan yang pasti. Lalu di manakah diriku? Jawabannya adalah tidak di antara kamu dan dia. Aku berada jauh dan, sendiri. Memperhatikan drama cinta yang kubenci. Aku memang tak berpengalaman tentang cinta. Tapi aku punya dan merawatnya diam-diam.
Entah bagaimana Tuhan menciptakan perasaan itu. Perasaan yang bisa terbentuk dalam sepersekian detik dan bisa pergi dalam waktu singkat pula. Selembar hatiku memberontak untuk tetap membencimu. Tapi selembar hatiku yang lain masih ingin memilihmu.
***
Telah kubaca dan kuhafal rumus-rumus. Kupelajari berlembar-lembar dari buku materi. Kujejali juga kepalaku dengan tumpukkan soal yang telah dikunyah otak dan ditelan memoriku. Hari ini aku telah siap mengikuti ulangan Matematika. Semua telah duduk sesuai nomor absen. Tak ada Agus dan kawanannya. Satu kelas terbagi di dua ruangan. Tiap satu meja hanya ada satu peserta. Dan di sinilah aku duduk, di belakangmu, Aisyah.
“Sudah siap?” Bu Ninik bertanya.
“Siap Bu guru....“ Suara berpendar dari segala penjuru kelas. Ada juga yang sibuk menyembunyikan contekan. Entah dia lupa atau memang sengaja tak memasukannya ke dalam kepala.
Soal dan lembar jawaban mulai dibagikan secara berurutan dari depan ke belakang. Kebetulan aku duduk di pojok belakang. Paling depan dari barisanku mulai mengangsurkan soal kebelakangnya, lalu kebelakangnya lagi, kebelakangnya lagi dan sampai juga di mejamu, Aisyah. Aku mencoba bersikap biasa. Namun detak jantungku tetap beralun tak biasa. Kau mengubah posisi dudukmu, berpaling ke belakang menghadapku. Aku tak berani melihat wajahmu. Hanya fokus pada lembaran soal yang kau angsurkan dengan jemari lentikmu.
“Nanti aku nyontek ya?” bisikmu lirih, namun terdengar cantik.
Tentu itu hanya caramu bergurau. Mataku mendadak bergerak melihatmu. Sempat menatap mata dan bibirmu bergantian. Kau tersenyum di jarak yang cukup menggetarkan jaringan syarafku. Kucoba membalas dengan senyum. Tanpa sempat menanggapi gurauanmu, kau lebih dulu berbalik kembali.
Di meja masing-masing telah tersaji hidangan untuk dikunyah otak keras-keras. Siapa yang telah mengasah taring pemahaman dan pemikirannya, kemungkinan dia berhasil mengunyahnya dan ditelan habis memenuhi otak. Sebaliknya, jika tak pernah memepertajam taring itu. Atau bahkan tak pernah menggunakannya kemungkinan takkan bisa mengunyahnya apalagi menelannya. Lalu masuk yang mana kamu, Pi?
Semua keluar dari jalur prediksiku sebelumnya. Tak banyak yang bisa kulakukan. Semua rumus-rumus, berlembar-lembar dan berbuku-buku materi yang kusimpan dalam kepalaku seperti hangus semua. Otakku seperti enggan bekerja. Aku mencoba mengais-ngais sisa pengetahuan yang tersisa. Untuk beberapa soal mungkin masih bisa. Lima belas menit pertama suasana masih tenang. Tapi lima belas menit kedua mulai terdengar bisik-bisik para pencari jawaban.
“Sssssts...,” desis Bu Ninik sambil meletakan jari telunjuk di depan bibirnya.
Bisik-bisik suara tertelan kembali. Tapi tak berlangsung lama. Telingaku seperti mendengar sesuatu. Bisik suara yang memanggilku. Kutengok arah suara, dan dialah Bayu, duduk di meja sebelahku tapi agak ke depan, atau beda barisan. Setiap tes semester atau ulangan harian, dia pasti mengemis jawaban. Tak hanya padaku, juga pada yang lainnya yang dianggap berotak cair.
Dia menyiapkan sobekan kertas yang ditekuk-tekuk hingga kecil. Tentu dia menggunakan kertas buram yang juga dibagikan bersama soal untuk coret mencoret dalam menghitung. Biasanya sobekan yang dia lempar disisipi tulisan untuk memperjelas apa yang dia minta. Sementara kertas buram miliknya masih bersih. Artinya belum ada usaha untuk menghitung sendiri. Malah kertas makin menyusut karena untuk dilempar ke sana–ke mari mencari bantuan jawaban. Dia akan berhenti hanya saat ditegur oleh guru. Setelah beberapa saat pasti dia beraksi kembali.
Clingak-clinguk sebentar. Memahami situasi. Setelah dia rasa aman, dilemparkanlah kertas itu padaku lewat bawah. Mukanya menunjuk ke bawah mejaku. Sesungguhnya aku enggan menuruti keinginanya, tapi akhirnya aku terpaksa juga menurutinya. Selama Bu guru tak berkeliling mengawasi, karena berada di meja paling belakang, aksi-aksi seperti ini mungkin dianggap semua siswa aman. Meski sudah terlalu sering teguran-teguran dari guru yang mengawasi bahkan penarikkan soal dan jawaban yang belum selesai, tapi masih banyak yang membandel tetap mencontek.
Hampir semuanya berbisik mencari jawaban. Sementara kau sibuk dengan soalmu, Aisyah. Aku pun ingin mendengarmu berbisik. Setidaknya untuk meminjam sesuatu padaku, pulpen misalnya. Aku ingin mendengar suaramu. Di mana sebenarnya kau Aisyah. Kau duduk di depanku, tapi aku tak merasakan kau hadir di sini. Mungkinkah keragu-raguanku membuatmu ragu juga padaku?
Mungkin kau tak perlu bantuan siapa pun untuk menyelesaikan soal eksak. Otakmu cukup mumpuni. Tapi sebaliknya, aku perlu. Tapi tak sampai meminta-minta jawaban. Apalagi padamu. Itu bukan sifatku. Sesulit apa pun soal, aku berusaha menghadapinya sendiri. Dan jika waktu menghimpitku sementara soal belum selesai, maka kugunakan ilmu mengira-ngira bin asal-asalan. Tapi jika kau yang lebih dulu menanyakan jawaban, maka lain lagi ceritanya.
Kau mulai menyandarkan pelan tubuhmu pada kursi. Mungkin kau lelah, atau mungkin juga sudah membantai semua soal. Kau sedikit memalingkan wajahmu ke kanan. Cuma bisa melihat lekuk pipimu.