Sehelai Jiwa Sepi

Suyat Aslah
Chapter #7

INILAH TAKDIR TEMANMU

Tak ada persiapan khusus untuk hari ini. Aku akan berangkat seperti hari-hari biasa. Bedanya tak ada buku yang kubawa. Hampir tiap hari, sebelum berangkat aku becermin. Memandang sejenak diri yang tak bisa percaya diri. Terasa ada yang kurang. Kuambil parfum, kusemprot ke sebagian dada dan nadi di pergelangan kiri, mengusapnya pelan. Di waktu yang sama, tiba-tiba kuingat gelang yang Ibu sematkan di tangan kiriku dulu. Entah di mana aku menyimpannya. Ada rasa ingin memakainya hari ini, toh hari bebas.

Kucari-cari di laci, bawah Kasur juga di atas lemari, kubongkari buku-buku yang bertumpuk rapi. Tapi belum ketemu, bilik ingatanku mendadak terbuka. Kupikir terakhir kali aku melihatnya saat aku membereskan baju-baju di dalam lemari. Pelan kusibak tumpukan baju yang kini tak tertata rapi lagi. Benar saja, kutemukan gelang itu. Kupandangi sebentar lalu kupakai di tangan kiriku. Tak perlu lagi dipasang dua kali memutar, cukup satu dan sudah pas di pergelanganku.

Hari bebas dimulai. Itu berarti pergulatan batin untukku menguasai diri, setidaknya tak terlihat bodoh dan aneh di hadapan semua. Apalagi satu kelas dibentuk jadi dua tim. Supaya lebih kompetitif. Itu karena jumlah seluruh murid di sekolahku tak begitu banyak. Dan aku tak masuk di tim Agus. Sebaliknya aku masuk tim bersama Aisyah, Dian dan beberapa yang lain. Acara yang sederhana memang. Tapi membuat yang lain riang dengan antusias.

Lomba hari ini dimulai dengan lomba menari dengan balon yang dihimpit di antara dua kening peserta lomba. Lomba yang biasa memang, bahkan kekanak-kanakan. Tapi sudah pasti aku tak bisa melakukan ini. Sementara satu tim sudah terbagi, dengan lomba masing-masing. Aku berpasangan dengan Aisyah. Aku pun tak punya target untuk menang lomba. Tapi aku akan berusaha supaya balon takkan jatuh. Meski sesungguhnya aku tak suka situasi seperti ini. Dikepung keragu-raguan karena banyak yang meneriaki. Aku merasa terlihat bodoh. Bagaimana tidak, aku bukanlah tipe orang yang mudah berekspresi di depan banyak orang. Dan kali ini aku diharuskan menari?!

Permainan dimulai, rasa malu dan ragu kian merubungku. Semua peserta telah menari. Aisyah pun memulai gerakan. Sementara aku masih dengan keragu-raguanku, hanya sedikit mengimbangi langkahnya.

Aisyah menikmati permainannya. Kemana pun ayunan tubuh dan tangannya, itu tetaplah indah di mataku. Ada rambatan dalam setiap Inch jarak. Aku tak bisa menahannya merambat. Lebih tepatnya, tak ingin. Inilah jarak yang kuinginkan abadi. Jarak yang mampu menggetarkan jaringan syarafku. Aku bisa sedekat ini. Hampir tak bersekat. Bahkan aku bisa bersentuhan dengan napasnya yang bak minuman bagi jiwa yang begitu memabukkanku. Aku sendiri mendengar detak jantungku beralun kacau.

Aku memulainya dengan langkah, langkah dan langkah. Hanya itu yang aku bisa. Tapi Aisyah meraih tanganku, mengajakku bergerak. Aku ingin menepis pelan tangannya. Tapi entah kanapa aku seperti boneka yang takluk di tangan pemilik. Tanganku bergerak atas keinginannya. Langkahku seperti tak diperintah otak, mengimbangi ayunan langkahnya.

“Ayo jangan malu, hiks,” bisiknya.

Karena gerak kepala yang serba terbatas. Aku tak bisa melihat bagaimana wajah semua yang menyorakiku sambil tertawa-tawa. Makin malu saja rasanya. Saat balon itu bergeser, Jantungku terasa jatuh entah kemana. Refleksku menjaganya agar tidak jatuh. Tapi yang terjadi kedua pucuk hidung kita sempat berpagutan. Tapi tak menjatuhkan balonnya. Lantas kutinggalkan detik waktu dan segera meminta maaf padanya, dengan bisik suara yang terdengar tertahan di atas lidahku. Aisyah pun menjawabnya dengan bisik. Tanpa sadar musik telah berhenti. Semua teman se-tim kita bersorak atas kemenangan kita. Saat itu juga kusadari, tersisa tinggal kita yang masih menghimpit balon. Entah sejak kapan yang lain menjatuhkan balonnya. Aisyah sangat senang, ikut bersorai bersama. Tim kita memang kompak. Tapi aku? Masih diam dengan raguku.

“Hey, Kau menang!” kata Dian semangat sambil menepuki pundakku, tapi setelah itu tangannya diam dan masih di pundakku. Tersenyum sambil melihat mataku dari jarak dekat. Lalu menggoyang-goyangkan tubuhku sambil berkata, “Ayo…kau tak gembira atas kemenanganmu?” dia mengajakku ikut bergembira. Tapi beginilah aku, selalu tak berlebihan dalam berekspresi. Meski saat senang hati.

Lihat selengkapnya