Sehelai Jiwa Sepi

Suyat Aslah
Chapter #8

PUTRI MALU

Sang Putri Malu. Begitu menutup diri meski duri-duri melindungimu. Siapa yang menyentuhmu, kau pasti beringsut. Seperti tak mau diganggu. Tapi kau tak pemalu sepertiku. Durimu selalu siap mencakar siapa pun yang berusaha meraihmu. Menusuk yang menginjak-injakmu. Siapa mengira di balik rupa cantikmu tersembunyi sebuah senjata yang bisa mengancam siapa pun terutama laki-laki, di mana pun, dan kapan pun, termasuk saat-saat yang tak pernah terduga. Tapi kenapa kau tak pernah menunjukkan ‘kegaranganmu’ padaku, Dian? Bahkan kau adalah tameng utamaku saat aku jadi mainan si preman sekolah, Agus.

Kau memperlakukanku berbeda dengan teman laki-laki yang lain. Mungkinkah aku laki-laki berbeda dengan yang lain, hingga kau pun menganggapku berbeda? Memang, aku tak bisa seperti mereka yang bisa dengan mudah memasuki daerah pergaulan dan daerah lain yang bersentuhan dengan kehidupan. Hingga dunia ciptaanku sendiri jadi tempat paling tenang untuk kutinggali. Dan mungkin juga banyak orang menganggapku bagai tak ada di dunia ini. Sementara kau tak termasuk di antara mereka. Bahkan kau mengajak dan menyadarkanku. Bahwa aku pun bagian dari kehidupanmu. Dan kehidupan mereka.

***

Aku masih menunggu balasan pesan darimu. Hampir setengah jam yang lalu jempolku bertanya padamu. Melalui tombol-tombol HP berkarat warisan Mbak Ayu. Test kenaikan kelas sebentar lagi. Tak hanya ulangan harian, bahkan saat hari bebas pun kita diberi tugas rumah. Salah satunya Matematika yang telah membuat otakku berputar 7 kali putaran. Hingga ruwet seluruh benang jaringan otakku. Dan seperti biasa aku hanya bisa berharap padamu. Bukan sebuah jawaban. Tapi cara untuk ‘menghabisi’ soal yang berjajar.

Ada rasa gelisah yang menyerbuku saat menunggu. Gelisah yang tercampuri sensasi tersendiri. Kuingin sekali kau segera membalas pesanku. Dan kita akan mulai bertukar otak. Membunuh satu per satu soal yang tersisa. Ini akan jadi cara belajar paling mendebarkan bagiku. Tapi kurasa waktu perlahan memupus keinginan itu. Hampir satu jam tak ada tanda suara pesan masuk.

Praang!

Suara itu memecah telinga batinku. Diikuti juga suara batuk Ibu yang gemetar. Aku terlonjak dari dudukku dan buru-buru ke kamar Ibu. Semua dalam pikirku telah berganti. Bukan lagi tugas sekolah apalagi balasan pesan dari Dian, tapi keadaan Ibu. Kusingkap pintu kamar yang terbuat dari tirai dengan tangan cemasku. Segelas teh hangat ambyar di lantai. Kulihat Ibu tergopoh-gopoh akan membersihkan pecahan beling yang terserak.

“Ya ampun! Ibu! Udah biar aku aja yang beresin.”

Lebih dahulu aku memapahnya duduk di tepi dipan. Wajahnya pucat, tubuhnya sedikit bergoncang karena mengigil. Dan seperti ada sesuatu yang ingin Ibu katakan. Dengan bahasanya sendiri. Dengan suara yang juga ikut menggigil. Sebuah pertanyaan. Seperti biasa sel otakku telah teratur otomatis bisa menerjemahkan bahasa yang tak banyak orang memahaminya.

“Mbak Ayu belum pulang, Bu, baru jam sembilan.” Ibu mengangguk.

Keriut suara dipan terdengar perih di dadaku. Saat Ibu mulai berbaring dan membalikkan tubuhnya membelakangiku. Kuulurkan selimut dari kaki hingga ke dagu untuk menghangatkannya. Sudah beberapa hari ini sakit. Sementara jahitan masih menumpuk. Ada juga yang telah mengambil kembali kain yang belum dijahit, untuk dijahitkan di tempat lain.

Kubersihkan remahan gelas dengan jemari yang tak sepenuhnya diperintah otak. Sekali lagi aku terbangun di atas kenyataan pahit. Kenyataan yang berulang kali terlupa oleh diri. Ada begitu banyak penyesalan di depan mata. Kondisi hidup yang pelik. Harusnya aku jadi orang yang lebih kuat menatap masa. Lebih berani menantang hari. Setidaknya tak menambah beban untuk keluarga. Tapi kebenarannya adalah sebaliknya.

Dengan pikiran yang menggeragapi takdir yang kian menghimpit. Aku lupa pada langkah waktu. Inilah saat di mana sekeping harapan hilang sebagian. Tak kusangka sepucuk beling membedah jari telunjukku. Terkejut bukan kepalang. Aku hampir berteriak kecil. Namun berhasil kutahan di dalam mulutku dan kutelan kembali sebelum termuntahkan. Jangan sampai membangunkan Ibu, pikirku. Seketika jariku berkuyup darah. Aku tak ingin Ibu melihat darah mengalir di jariku. Jika Ibu benar melihatnya, aku pun akan melihat air mata Ibu mengalir.

Lihat selengkapnya