Sehidup Tak Semati Denganmu

Chely Nizwar
Chapter #2

Dilema

Setelah selesai makan, kini mereka kembali ke ruang perawatan. Sepanjang perjalanan dari warung hingga tiba di tempat, Zita hanya diam membuat Fisca dan Keno merasa bersalah telah melakukan hal tadi didepannya. Padahal, mereka hanya sekedar bercanda dan saling suap-menyuap. Namun, hal sekecil itu bisa membuat Zita merasakan kesedihan lagi. Kenangan bersama Kendra selalu muncul dibenaknya, membuat gadis cantik itu sulit untuk bangkit dari kenyataan yang ada. Baru saja mereka tiba diambang pintu, Zita dikagetkan dengan kedatangan wanita yang selama ini dia benci. Wanita yang sama sekali tak diinginkan kehadirannya. Gadis itu terpekur, menatap wanita blasteran itu tanpa berkedip. Dengan kaki gemetar, Zita melangkah masuk. Tangannya mengepal kuat, pandangannya tak pernah lepas dari wanita yang tersenyum manis padanya.

  “Hai, apa kabar?” tanyanya basa basi.

 Zita tersenyum tipis. “Baik, bahkan lebih baik jika kamu tak ada di sini.” Zita geram, entah kenapa wajah wanita itu sungguh membuatnya jengkel. Zita tak ingin kejadian tempo hari mengingatkannya pada sang suami. Gadis itu tengah berusaha untuk bangkit dan mengikhlaskan kepergian Kendra. Bahkan, untuk selamanya.

 “Sayang, kalian sudah saling kenal? Mama baru saja hendak mengenalkanmu padanya. Tapi, mama bersyukur kalian sudah mengenal satu sama lain. Mulai sekarang kamu akan punya teman di rumah. Fisca dan Keno ‘kan harus ke luar negri, jadi mama nggak mau kamu kesepian,” ucap bu Ratih menghampiri Zita.

“Nggak. Zita akan pulang bersamaku,” timpal Bu Mira yang ikut menghampiri putrinya. “Dia putriku, nggak akan ada yang bisa menghalangiku untuk membawanya pulang.” Bu Mira menatap tajam kearah Bu Ratih, membuat wanita paruh baya itu meneteskan air matanya lagi.

“Mbak, jangan pikirkan ego sendiri. Zita masih menantu kami, dia akan pulang bersama kami ke rumah suaminya.”

“Sepertinya Mbak lupa lagi. Padahal baru saja kita bahas bahwa putriku telah kehilangan suaminya. Itu berarti dia telah resmi menjadi janda, dan seorang janda nggak seharusnya berada di rumah mertua. Dia harus pulang kerumah kami, rumah orang tuanya. Titik!” ucapan bu Mira terdengar lantang dengan nada suara meninggi.

 Semua orang terdiam mendengarnya. Begitu pun dengan Zita yang menatap ibunya heran. Gadis itu tak menyangka, jika sang ibu tega mengatakan hal itu dihadapannya. Padahal dia masih dalam keadaan berkabung, bahkan tanah makam Kendra masih basah.

 “Ma. Barusan mama ngomong apa? Zita nggak paham sama kalimat mama tadi,” ucapnya menata Bu Mira dengan linangan air mata.

“Sayang, yang mama katakan tadi itu adalah kenyataan. Kamu baru saja ditinggalkan suamimu, itu artinya kamu sekarang telah resmi menjadi janda. Kamu harus pulang sama mama dan papa, ya!” Bu Mira memegang lembut pipi putrinya. Tanpa ia sadari, ucapannya tadi membuat Zita semakin terluka. Gadis itu melepaskan tangan Bu Mira dari wajahnya, kemudian berjalan menuju ranjang tempat dia dirawat semula.

 “Zita nggak percaya mama akan mengatakan hal itu. Zita pikir mama akan berdiri bersama Zita hingga bangkit lagi. Tapi, apa yang mama lakukan! Mama justru senang kalau aku menjadi janda.” Isak Zitadengan menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan.

Semua orang terdiam, begitupun dengan Bu Mira. Dari raut wajah mereka jelas menggambarkan kekhawatiran akan kondisi Zita. Tangis Zita terdengar pilu ditelinga. Gadis itu sangat kecewa mendengar ucapan ibunya, ia berpikir orang tuanya akan selalu mendukung dirinya meski sudah tak bersuami lagi. Tapi apa kenyataannya? Justru dari mulut ibunya sendiri Zita mendengar kalimat yang tak ingin dia dengar. Bu Mira melangkah perlahan, kemudian memeluk sang putri dengan penuh kasih sayang. Pak Jimmy menginstruksikan pada semua orang agar meninggalkan ruangan Zita dan memberikan waktu untuk ibu dan anak itu bercengkrama.

 “Maafin mama, Ta. Mama nggak bermaksud berkata seperti itu, mama hanya nggak mau orang berkata yang bukan-bukan tentang kamu,” ucap Bu Mira melepas pelukan dan menatap mata putrinya yang sendu.

Lihat selengkapnya